ASURANSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

19 November 2014

ASURANSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Hukum Islam telah lama dikenal dalam tataran kehidupan manusia, yaitu kurang lebih 15 abad lalu hukum Islam telah ada bersanding dengan manusia. Pada awal masa Islam di mana kekuatan hukum Islam masih ada di tangan Nabi Muhammad saw, corak dan karakteristik hukum Islam masih diwarnai oleh pembentukan dan kelahirannya. Pada era modern ini perkembangan dan pertumbuhan masyarakat sangat cepat sekali. Masalah yang timbul, juga banyak dan tak terduga, masalah kontemporer bermunculan banyak sekali di antara isu-isu yang muncul ada yang berkaitan dengan isu seputar lembaga-lembaga ekonomi baru yang sebelumnya secara formal dalam dunia Timur belum terlambangkan dalam sebuah institusi seperti lembaga perbankan dan asuransi kedua lembaga ini di dunia Barat merupakan barang lama yang telah ada dan telah menjadi salah satu instrumen sekaligus mesin ekonomi pada era modern. Asuransi sebagai lembaga keuangan non bank, terorganisir secara rapi dalam bentuk sebuah perusahaan yang berorientasi pada aspek bisnis pada era modern. Revolusi industri di kalangan masyarakat Barat mempunyai banyak tuntutan untuk mengadakan sebuah langkah proteksi terhadap aktivitas ekonomi.[1] 
Dalam hal ini, hukum Islam mengemban misi untuk melakukan sebuah proyek Islamisasi ataupun menggali nilai-nilai yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul dalam membentuk sebuah perangkat asuransi modern yang selaras dengan nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran Islam. Dengan didasarkan pada asumsi awal yang dijelaskan bahwa dalam ajaran Islam telah sempurna dan mempunyai nilai yang universal serta mencakup seluruh aspek hidup manusia yang telah dijamin dengan adanya norma yang mengatur kehidupan tersebut selaras dengan firman Allah SWT,[2] dalam QS. Al-Maidah ayat 3
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa Karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Imam Syafi’i sebagai seorang pakar dalam hukum Islam menyatakan bahwa kaidah-kaidah itu untuk menjaga semangat hukum Islam yang fungsi utamanya adalah mengontrol masyarakat dan bukan untuk dikontrol oleh masyarakat. Menurutnya wahyu Allah seperti dikemukakan dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi saw, ditujukan untuk menghadapi setiap kejadian yang mungkin terjadi. Secara implisit Imam Syafi’i berpendapat bahwa segala sesuatu masalah itu sudah disiapkan pemecahannya dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi saw.[3] 
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan keabsahan praktik hukum asuransi. Secara garis besar, kontroversial terhadap masalah ini dapat dipilah menjadi dua kelompok yaitu pertama ulama yang mengharamkan asuransi dan kedua ulama yang membolehkan asuransi. Kedua kelompok ini mempunyai dasar-dasar hukum dan memberikan alasan-alasan hukum sebagai penguat terhadap pendapat yang disampaikannya. Di antara pendapat para ulama dalam masalah asuransi ini ada yang mengharamkan asuransi dalam bentuk apapun dan ada yang membolehkan dalam semua bentuk, ada juga yang berpendapat membolehkan asuransi yang bersifat sosial (ijtima’i) dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial (tijary) serta adapula yang meragukan (subhat).[4] 
Asuransi dilihat dari segi teori dan sistem, tanpa melihat sarana atau cara-cara kerja dalam merealisasikan sistem dan mempraktekkan teorinya sangat relevan dengan tujuan umum syari’ah dan diserukan oleh dalil-dalil juz’inya. Dikatakan demikian karena asuransi dalam arti tersebut adalah sebuah gabungan kesepakatan untuk saling menolong yang telah diatur dengan sistem yang sangat rapi, antara sejumlah besar manusia. Tujuannya adalah menghilangkan atau meringankan kerugian dari peristiwa-peristiwa yang terkadang menimpa sebagian mereka dan jalan yang mereka tempuh adalah dengan memberikan sedikit pemberian dari masing-masing individu. Asuransi dalam pengertian ini dibolehkan tanpa ada perbedaan pendapat, tetapi perbedaan pendapat timbul dalam sebagian sarana-sarana kerja yang berusaha merealisasikan dan mengaplikasikan teori dan sistem tersebut yaitu akad-akad asuransi yang dilangsungkan oleh para tertanggung bersama perseroan-perseroan asuransi.
Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam fatwanya tentang pedoman umum asuransi syari’ah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan tabbaru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syari’ah. Dari definisi di atas tampak bahwa asuransi syari’ah bersifat saling melindungi dan tolong menolong, yang disebut ta’awun yaitu prinsip dalam hidup yang saling melindungi dan saling menolong atas dasar ukhuwah Islamiyah antara sesama anggota peserta asuransi syari’ah dalam menghadapi malapetaka (risiko).[5]

[1] AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm. 6.
[2] Muhammad Syafi’i Antonio, Prinsip Dasar Asuransi Takaful, Jakarta: BAMI, 1994, hlm. 147-149
[3] Ibid., hlm. 97-98.
[4] Nandi Rahman, Asuransi Tafakul Keluarga Menurut Ekonomi Islam, Jakarta, 2002, hlm. 4.
[5] Muhammad Syakir Sula, AAIJ, FIIS, Asuransi Syari’ah, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 29-30.
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.