MADZHAB DAN TAQLID DALAM ISLAM

8 Agustus 2014

MADZHAB DAN TAQLID DALAM ISLAM

Ajaran Islam di yakini oleh Umat Islam sebagai ajaran yang bersumber pada wahyu Allah. Keyakinan ini didasarkan pada kenyataan bahwa sumber ajaran Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Kemudian dalam seting sejarah, proses terbentuknya hukum Islam sejatinya hanya berlangsung pada masa Nabi Muhammad SAW. Hal ini lebih di sebabkan karena nabi mempunyai kewenangan dan otoritas penuh, bahkan melekat pada dirinya legitimasi teologi untuk melakukan hal itu, sementara generasi setelah Nabi hanya berfungsi untuk mengembangkan konstruksi dasar hukum yang telah di bangun sebelumnya.
Fenomena ini terlihat dalam ijtihad pada fuqaha’ pada setiap periode yang telah berhasil fiqih melalui metodologi usul fiqih dengan modifikasi tertentu yang tak lepas dari kerangka al-Qur’an dan as-Sunnah. 

A.    Madzhab 

Secara etimologis, kata madzhab, berasal dari sighat masdar mim (kata sifat) dan Isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi Dzahaba, yang berarti pergi, dan bisa juga berarti al-ra’yu, yang berarti pendapat.[1] 
Menurut Ibrahim Hosein, Madzhab secara etimologis memiliki paling tidak tiga macam pengertian, yaitu: 1) pendirian, kepercayaan, 2) sistem atau jalan, dan 3) sumber, patokan dan jalan yang kuat, aliran atau juga berarti paham yang dianut.[2] 
Sedangkan secara terminologis, madzhab adalah jalan pikiran (pendapat) yang di tempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits.[3] Ada juga yang mengartikan: 
  1. Jalan pikir atau metode yang digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu kejadian. 
  2. Pendapat atau fatwa seorang mujtahid atau mufti tentang hukum suatu kejadian.[4] 
Jadi madzhab merupakan pokok pikiran/dasar yang digunakan oleh Imam Madzhab dalam memecahkan masalah/mengistimbathkan hukum Islam.Di samping itu, madzhab juga dipahami dengan sekolah (school), yang dalam bahasa Arab dipahami sebagai madrasah fikriyah atau madzhab al-aqli. Jadi, madzhab esensinya adalah aliran pemikiran atau school of thought.
Secara historis, polarisasi madzhab dalam Islam dapat diidentifikasi menjadi dua kelompok besar, yaitu ahl al-ra’y dan ahli al-hadits, atau biasa dikenal sebagai faksi Kufah dan faksi Hijaz. Faksi pertama, diwakili oleh Imam Abu Hanifah, seorang faqih dan ulama’ yang lebih banyak menggunakan porsi ra’yu, atau paling tidak lebih cenderung rasional dalam pemikiran ijtihadnya.
Sementara faksi kedua, diwakili oleh Imam Malik bina Anas ibn Amr, seorang faqih dan ulama’ yang lebih banyak menggunakan al-Hadits dan tradisi masyarakat Madinah sebagai referensi dalam pemikiran ijtihadnya. Sedangkan Imam Syafi’i, di kenal sebagai sintesa antara dua faksi ini, walaupun lebih cenderung kepada ahli al-Hadits dan Imam Ahmad Ibn Hanbali juga masuk dalam faksi ahli al-Hadits, karena ia seorang Muhadditsin, di samping juga sebagai mujtahid mustaqil, namun pola istimbathnya lebih dekat kepada metodologi gurunya, Imam Syafi’i.
Secara sosiologis timbulnya berbagai madzhab dalam hukum Islam dipengaruhi oleh setting sosio-historis, dan sosio-sosial yang melingkupi para imam Madzhab dalam proses istimbath hukumnya. Di samping itu, Muhammad Syaltut dan Muhammad Ali al-Says, mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan timbulkan berbagai madzhab, antara lain: 
  1. Perbedaan pemahaman tentang lafadz nash. Para ulama’ berbeda dalam memahami lafadz nash, karena bisa jadi suatu lafadz biasanya memiliki makna hakiki dan majazi. Sebagai contoh, lafadz quru’, adalah lafadz musytarak, sehingga fuqaha Hijaz mengartikan dengan arti “suci”, sementara fuqaha Irak, memahaminya dengan “haid”. 
  2. Perbedaan dalam masalah hadits. Perbedaan ini terjadi, karena ada hadits yang sampai kepada sebagian fuqaha dan tidak sampai kepada fuqaha yang lain. Di samping perbedaan dalam menilai kualitas sebuah hadits yang absah dijadikan basis argumentasi dalam ber-istidlal. 
  3. Perbedaan dalam pemahaman dan penggunaan qaidah lughawiyah nash. Para fuqaha berbeda dalam memahami apakah suatu lafadz al-‘am itu qath’i atau zhanni. Sebagian memahami bahwa lafadz al-‘am itu bersifat qath’i jika tidak ada takhsish-nya, sementara yang lain memahaminya sebagai zhanni bukan qath’i. 
  4. Perbedaan dalam mentarjihkan dalil-dalil yang berlawanan (ta’arud). Para fuqaha berbeda pendapat, ketika terjadi pertentangan antara dua dalil dan cara penyelesaiannya melalui tarjih. Sebagian fuqaha mengatakan bahwa, pada dasarnya tidak ada pertentangan antar dalil, kecuali hanya pertentangan dalam pemahaman para mujtahid. Sementara fuqaha yang lain, memang mengakui adanya pertentangan sehingga harus dicarikan metode penyelesaiannya melalui tarjih. 
  5. Perbedaan dalam qiyas. Perbedaan ini bukan hanya antara yang menolak qiyas sebagai dalil hukum, tetapi juga antara yang menerima qiyas pun terjadi perbedaan, terutama dalam intensitas penerimaannya. 
  6. Perbedaan dalam penggunaan dalil-dalil hukum. Dalil hukum di bagi menjadi dua bagian, yaitu dalil naqli dan dalil aqli. Dalil naqli, adalah dalil-dalil al-Qur’an dan Al-Hadits. Sedangkan dalil naqli, adalah dalil berdasarkan ijtihadiyah. Berkaitan dalil yang di sebut terakhir ini, para ulama’ berbeda dalam penerimaannya sebagai basis ber-istidlal. 
  7. Perbedaan dalam pemahaman illat hukum dan nasakh. Illat hukum, merupakan dasar bagi penetapan suatu ketentuan hukum syara’. Para fuqaha berbeda dalam penetapan illat, dan mereka juga berbeda dalam nasakh, yaitu penghapusan suatu hukum dengan ketentuan hukum yang datang kemudian.[5] 
Di samping empat madzhab fiqih yang di sebutkan di atas, terdapat sejumlah madzhab fiqih lain, seperti madzhab Zahiri, Thabari, Laits, dan sebagainya. Namun saat ini madzhab-madzhab tersebut kurang berkembang, karena sedikit pengikutnya. Sedangkan di luar kelompok Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) terdapat madzhab Syi’ah, yang terdiri dari dua madzhab besar, yaitu Syi’ah Imamiyah[6] yang terdiri dari dua belas imam dan madzhab Syi’ah Zaidiyah.[7] 
Pada zaman para imam madzhab, kaum Muslim mempunyai kebebasan dalam mengikuti pendapat mana yang dikehendakinya. Diantara dampak dari kebebasan ini tumbuh dan berkembangnya para ulama yang kemudian hari dikenal sebagai pendiri madzhab-madzhab. Zaman keemasan ijtihad dibidang fiqih ini berlangsung sekitar tiga abad sampai datangnya masa kemunduran ijtihad di bidang fiqih, sekitar pertengahan abad ke-4 Hijrah. Setelah masa ini, mayoritas ulama tidak berani melakukan ijtihad secara bebas. Para ulama tersekat-sekat ke dalam beberapa madzhab dan masing-masing hanya memperkuat argumentasi-argumentasi yang digunakan oleh para imam madzhabnya. Dengan demikian, Ilmu fiqih berhenti sedangkan ilmu-ilmu lain yang mendukung Ilmu Fiqih ini berkembang, seperti ilmu ushul fiqih. Kemunduran Fiqih Islam yang berlangsung sejak pertengahan abad ke-4 sampai akhir abad ke-13 H sering disebut sebagai penutupan pintu ijtihad (Periode Taqlid). Disebut demikian, karena sikap dan paham yang mengikuti pendapat para ulama mujtahid sebelumnya dianggap sebagai tindakan yang lumrah. Bahkan dipandang tepat.[8] 
Kemudian pada abad ke-4 Hijrah atau abad ke-20 Masehi, bermunculan para ulama yang giat mengadakan pendekatan antar berbagai madzhab dalam pemikiran-pemikiran fiqihnya, seperti Syaikh Mahmud Syaltut (w.1963) dengan gerakan taqrib bain al-mazaqib (pendekatan antar madzhab).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada masa ini terdapat ulama-ulama yang berusaha mengkontekstualkan ketentuan-ketentuan hukum Islam dengan berbagai persoalan hidup dan agar mereka memegang kendali dalam kehidupan ini. Tanda-tanda kebangkitan kembali pemikiran fiqih atau gejala pendekatan antar madzhab pada masa modern dapat dilihat pada sistem mempelajarinya yang berbentuk perbandingan (muqaran) yang objektif, segi-segi penulisannya yang spesifik dalam membahas suatu bidang tertentu.
Peran yang besar dalam pengembangan hukum Islam madzhab-madzhab fiqih telah melahirkan rumusan-rumusan metodologi kajian hukum yang luas dan komprehensif, sehingga Fiqih Islam tidak hanya mampu membawa persoalan-persoalan kontemporer. Selain itu, berkembangnya madzhab-madzhab fiqih itu membuat hukum Islam menjadi fleksibel.[9] 

B.     Taqlid 

1.      Pengertian Taqlid 

Secara bahasa taqlid berasal dari kata قلَّدَ (qallada) – يُقَلِّدُ (yuqallidu) – تَقْلِيْدًا (taqlidan). Yang mengandung arti mengalungi, menghiasi, meniru, menyerahkan, dan mengikuti. Dalam definisi lain yaitu menerima pendapat orang lain tanpa dikemukakan alasannya.[10] Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid. Sedangkan menurut Istilah Taqlid adalah mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut. Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memegang tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang bertaqlid disebut Muqallid.[11] 
Sedangkan taqlid menurut syara’ adalah melakukan suatu perbuatan atau tindakan berdasarkan perkataan orang lain tanpa memiliki hujjah atau bukti yang diperlukan. Misalnya orang awam yang mengambil perkataan (pendapat) seorang mujtahid, atau seorang mujtahid yang mengambil perkataan mujtahid yang sederajat dengan dia. Taqlid dalam masalah akidah tidak dibolehkan, karena Allah telah mencela orang-orang yang taqlid dalam masalah akidah. Firman Allah SWT: 
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”, mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al-Baqarah: 170) 
Dalam persoalan ijtihad dan taqlid ini, asy-Syaukani mengomentari dengan mengatakan bahwa, ijtihad wajib atas orang yang memiliki kualifikasi mujtahid dan melarang taqlid berdasarkan atas kandungan ayat al-Qur’an: 
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya). (QS. An-Nisa’: 59) 
Menurut asy-Syaukani, Allah tidak memerintahkan kembali kepada pendapat seseorang dalam masalah agama, tetapi diperintah-Nya kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan demikian maka seseorang harus dapat memetik kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan cara melakukan istimbath. Akan tetapi, jika suatu permasalahan tidak ditemukan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka ia harus melakukan ijtihad bi al-ra’yi.
Pandangan asy-Syaukani ini dapat diterima oleh para pengikut madzhab yang empat. Namun persoalannya kemudian adalah, bagaimana jika kasus ini terjadi pada orang awam, apakah mereka tetap melakukan ijtihad? Dalam konteks ini, para pengikut imam Madzhab yang empat mewajibkan bagi orang awam untuk bertaqlid kepada salah seorang mujtahid. Menurut mereka, orang awam yang tidak memiliki pengetahuan sedikit pun tentang hukum Islam, mustahil dapat melakukan ijtihad; dan jika mereka tetap juga diwajibkan melakukan ijtihad, maka akan terjadi kekacauan hukum dalam masyarakat atau dapat mengakibatkan terbengkalainya berbagai sektor kehidupan, karena setiap orang sibuk mempersiapkan diri untuk melakukan ijtihad.[12] 

2.      Hukum Taqlid 

Mengenai hukum taqlid ini terbagi kepada dua macam, yaitu taqlid yang diperbolehkan dan taqlid yang dilarang atau haram.[13] 
a.       Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat. Sebagaimana yang dikatakan Imam Hasan Al-Bana mengenai taqlid ini, menurut beliau taqlid adalah sesuatu yang mubah dan diperbolehkan oleh syariat, namun meski demikian, hal itu tidak berlaku bagi semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim yang belum sampai pada tingkatan an-nazhr atau tidak memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat, yaitu bagi orang awam yang awam sekali dan yang serupa dengan mereka, yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunnah, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas. 
b.      Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingkatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat. Ada beberapa taqlid yang dilarang ini antara lain: 
  1. Taqlid buta, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlak dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran al-Quran dan Hadis, seperti menaqlid orang tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Hadis. 
  2. Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau tidak tentang suatu hal yang kita ikuti tanpa pamrih. 
  3. Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil bahwa pendapat orang yang kita taqlid itu bertentangan dengan ajaran Islam atau sekurang-kurangnya dengan al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap suatu pendapat, garis-garis hukum tentang soal-soal dari seorang mujtahid yang betul-betul mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul. 
ANALISIS 
Ijtihad adalah usaha besar yang mengerahkan segala kemampuan, bagaimanakah bila usaha itu ditempuh dengan tidak sepenuh hati dan tidak sungguh-sungguh? Maka ijtihad yang di tempuh dengan tidak sepenuh hati dan tidak sungguh-sungguh adalah bukan termasuk kategori ijtihad.
Ibn Subki mengatakan bahwa ijtihad itu dilakukan oleh orang yang mencapai derajat tertentu dan memiliki kualifikasi yang di sebut faqih, karena orang faqihlah yang dapat berbuat demikian. Lalu bagaimana orang-orang yang bukan faqih hanyalah taqlid saja tetapi yang mengetahui dasar hukumnya.
Bagaimana hukumnya taqlid bagi orang awam? Bila mana dia mengamalkan suatu pendapat kalau minta penjelasan yang disertai dengan dalil al-Qur’an/Sunnah. Maka ini diperbolehkan, tetapi bilamana tanpa didasari dengan dalil dan alasan hukum sebagai basis argumentasi, maka taqlid seperti hukumnya haram. (Taqlid buta). 

KESIMPULAN 
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ijtihad merupakan kewajiban atas seorang mujtahid, yaitu seorang yang memiliki kualifikasi dan kapabilitas keilmuan untuk melakukan istimbath hukum.
Sedangkan bagi masyarakat awam yang tidak memiliki kualifikasi, maka kewajiban ini gugur, dan ia tidak boleh hanya bertaqlid kepada ulama’, namun ia dapat meminta penjelasan yang disertai dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai alasan-alasan hukum. Metode ini tidak di pandang sebagai taqlid, melainkan meningkat menjadi Ittiba’ yang di bolehkan dan mendapat justifikasi dalam hukum Islam. Jadi taqlid yang di larang dalam Islam adalah mengamalkan ucapan (pendapat) orang lain tanpa didasari oleh suatu dalil dan alasan hukum sebagai basis argumentasinya. Taqlid semacam ini biasa dikenal dengan sebutan taqlid buta. tl;dr 

[1] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 71.
[2] Ibrahim Hosein, Fiqih Perbandingan Masalah Pernikahan Jilid 1, Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2003, hlm. 91.
[3] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, hlm. 71.
[4] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid II, Jakarta: PT. LOGOS Wacana Ilmu, 2001, hlm. 422
[5] Syaikh Mahmoud Syaltut dan Syaikh M. Ali As-Sayis, Perbandingan Madzhab Dalam Masalah Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, hlm. 16-18.
[6] Imamiyah adalah golongan Syi’ah yang meyakini bahwa Nabi Muhammad saw telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai imam pengganti dengan penunjukan yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, mereka tidak mengakui keabsahan kepemimpinan Abu Bakar, Umar, maupun Utsman. Bagi mereka persoalan imamah adalah salah suatu persoalan pokok dalam agama atau Ushuluddin. Disebut juga Tujuh Imam. Dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma’il. Lihat, Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010, hlm.  27-28.
[7] Zaidiyah adalah sekte dalam Syi’ah yang mengakui keabsahan khalifah atau imamah Abu Bakar As-Sidiq dan Umar bin Khattab. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib dinilai lebih tinggi dari pada Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Oleh karena itu sekte Zaidiyah ini dianggap sekte Syi’ah yang paling dekat dengan sunnah. Lihat, Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing House, 1996, hlm. 25.
[8] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih, Pekalongan: STAIN Press, 2006, hlm. 310.
[9] Dede Rosada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.1999, hlm. 160-161.
[10] A. Hanafi, Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 176. Lihat juga, Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, hlm.132. Contoh penggunaan dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban).
[11] Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2003, hlm. 61.
[12] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 117.
[13] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Bandung: Pustaka Setia, cet. 2, 2001, hlm. 155.
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.