PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG ISLAM

9 September 2009

PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG ISLAM

PENDAHULUAN

Kekerasan sampai saat ini tetap mewarnai kehidupan umat manusia, dan sampai derajat tertentu menunjukkan tingkat eskalasi mengerikan. Begitu pula yang terjadi di Indonesia, dan biasanya berkaitan dengan suku, agama, ras dan antargolongan. Bahkan para elit bangsa, masih menampakkan sikap yang jauh dari nilai-nilai civility. Mereka langsung atau tidak langsung masih mentolerir penggunaan kekerasan sekedar untuk mempertahankan kekuasaan.

Hal ini menyebabkan kecemasan, karena kedamaian tidak pernah terwujud nyata. Kedamaian menjadi sekedar penantian yang penuh kecemasan dan tanda tanya. Damai menjadi sekedar retorika yang tidak berlabuh secara langgeng dalam kehidupan. Dalam keadaan ini, ajaran agama berperan mengantarkan manusia menjadi individu dewasa, merdeka, bertanggungjawab di tengah-tengah masyarakat dan bangsa di dunia.

Orang pun bertanya-tanya; ada apa dengan agama? Adakah agama memang mengandung unsur-unsur yang melegitimasi kekerasan, bahkan teror? Apakah agama berperan sebagai sumber problem atau sumber solusi? Bagaimana mengenali terjadinya pembusukan di tubuh agama? Apa yang masih tersisa dari agama?

PEMBAHASAN

A. Agama sebagai Masalah

Agama merupakan ciri utama kehidupan manusia. Pandangan kita tentang agama kini banyak mengalami perubahan. Hal ini sebagian karena kita memiliki cara pandang yang sangat berbeda dengan cara pandang generasi sebelumnya. Meskipun dunia tetap beragam dalam hal agama, kita memiliki kesadaran yang lebih besar terhadap pluralisme agama dewasa ini.

Melalui interaksi sosial dan gambaran televisi, kita dapat merasakan kehadiran para penganut agama. Pada tingkat tertentu kita menyadari bahwa agama merupakan unsur kehidupan manusia yang kompleks. Kita mengetahui bahwa agama jauh melampaui tradisi tertentu atau pengalaman pribadi kita.

Sebagian dari kita mempunyai banyak gagasan dan gambaran tentang agama. Sebagian pengalaman, sebagian lagi berasal dari pengamatan pribadi atau gambaran media, sebagian gagasan itu masuk secara kultural melalui jalan yang disadari atau tidak disadari.

Sangatlah sulit memberikan informasi dasar tentang agama dunia dengan cara yang objektif dan dapat dipahami dalam waktu yang sangat singkat. Siapapun yang melakukan hal itu harus berusaha mendeskripsikan suatu tradisi sedemikian rupa sehingga pengikut tradisi tersebut dapat mengakui dan membenarkannya.[1]

Jelas bahwa, Islam memperlakukan kehidupan sebagaimana mestinya. Sebuah pemahaman yang benar akan menunjuk kepada kenyataan bahwa Islam bukanlah agama politik. Bahkan dapat dikatakan bahwa porsi politik dalam ajaran Islam sangatlah kecil, itupun terkait langsung dengan kepentingan orang banyak, yang berarti kepentingan rakyat kebanyakan.

Kalau saja ini dimengerti dengan baik, akan menjadi jelaslah bahwa Islam lebih mementingkan masyarakat adil dan makmur, dengan kata lain masyarakat sejahtera, yang lebih diutamakan kitab suci tersebut dari pada masalah bentuk negara. Dan ketidakmampuan dalam memahami. Hal inilah yang menjadi sebab kemelut luar biasa dalam lingkungan gerakan Islam dewasa ini.

B. Kekerasan dan Terorisme di Negara Kita

Terorisme memang merajalela di negara kita. Dalam waktu setahun terakhir ini, seharusnya ada tindakan yang jelas dari pemerintah untuk memberantas dan mengikis habis terorisme. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Para terorisme semakin lama semakin merajalela, dan mendorong masyarakat untuk menganggapnya sebagai buatan luar negeri yang tidak dapat diatasi. Akhirnya terorisme mengalami eskalasi luar biasa.

Menurut Dr. Henk Houweling, pakar bidang Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Van Amsterdam, teror itu mengandung hubungan antara pelaku kejahatan, korban, penonton, dan sasaran. Teror adalah digunakannya kekerasan sebagai alat komunikasi antara pelaku kejahatan dengan sasaran (target) di muka umum.[2]

Terorisme dalam pandangan syari’at[3]

Islam sebagai agama rahmat bagi semesta alam tidak mendasarkan diri pada pemaksaan apalagi kekerasan. Islam sebagai agama damai menganjurkan pemeluknya untuk berdakwah dengan penuh hikmah dan argumentasi yang logis.

Secara logika, jika orang dipaksa atau diancam agar masuk Islam, maka orang itu tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukannya, karena ia melakukannya lantaran dipaksa. Justru kebebasan yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia, adalah untuk memilih Islam atau tidak. Di waktu yang sama, Dia juga memberi bekal cukup berupa akal, hati, dan tanda-tanda kebesaran-Nya, yang akan melahirkan tanggungjawab yang akan dimintakan kepada setiap manusia berakal di alam akhirat nanti.

Namun kerahmatan Islam sebagai agama tidak berarti membiarkan dirinya ditempeleng pipi kiri lalu diberikan pipi yang kanan. Semua orang boleh mencela pribadi muslim dan yang bersangkutan kemudian memaafkan orang itu.

Akan tetapi, jika mereka telah memerangi dakwah Islam yang dilakukan secara damai tersebut, maka berlakulah hukum jihad.[4]

C. Mengenal Islam dengan Pendekatan Sosiologi

Sejarah perkembangan Islam dimanapun juga, senantiasa memperlihatkan jalinan antara dua hal, yaitu sistem individual (perorangan) dan sisi kemasyarakatan (sosial). Kedua hal itu harus dimengerti benar, kalau kita menginginkan pengetahuan tentang agama yang mendalam.

Memang kitab suci al-Qur’an tidak pernah secara jelas membagi kedua masalah itu (individu dan sosial) dalam kandungannya. Seluruhnya bersandar pada kemampuan kita memahami kitab suci tersebut, mana yang merupakan perintah (khittah) untuk perorangan, dan untuk masyarakat, seluruhnya tergantung penafsiran kita.[5]

Terkadang, sebuah kewajiban agama memiliki dua sisi itu, yaitu sisi individual dan sisi kolektif sekaligus, yang menjadikan kita sering lupa bahwa perintah agama dapat saja memiliki kedua dimensi tersebut.

Umpamanya saja kewajiban berpuasa, yang semula diperintahkan sebagai sesuatu yang bersifat individual.

Perintah Allah SWT: “Diperintahkan kepada kalian untuk berpuasa, seperti juga diwajibkan atas kaum-kaum sebelum kalian”. Perintah yang sepintas lalu bersifat individual ini pada akhirnya berlaku bagi seluruh kaum muslimin, sebagai kewajiban semua orang Islam. Dengan demikian, kita harus mampu mencari yang kolektif dari sumber-sumber tertulis (dalil naqli).[6]

Ini menunjukkan lebih jelas, bahwa perbedaan pendapat itu penting, tetapi pertentangan dan perpecahan adalah sebuah malapetaka. Dengan demikian, nampak bahwa perbedaan, yang menjadi inti sikap dan pandangan seseorang harus dibedakan dari pertentangan dan keterpecah-belahan dari sebuah totalitas masyarakat.

Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama, banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.[7]

Melalui pendekatan sosiologis, agama dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan.

D. Membumikan Pesan Perdamaian Agama-Agama

Membumikan perdamaian menjadi satu hal sangat urgen untuk dikedepankan dalam konteks hidup kekinian. Sebab realitas menunjukkan bahwa sampai saat ini kekerasan terus merebak, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Kenyataan itu mempresentasikan bahwa kekerasan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat manusia saat ini. Kekerasan menjadi gambaran utuh tentang dunia yang tidak pernah tentram dan damai, serta tercerabut dari akar-akar agama dan nilai kemanusiaan yang fitri.

Kenyataan perlu disikapi secara arif dan dicarikan penyelesaian yang holistik dan membumi sehingga menghasilkan kehidupan damai yang benar-benar langgeng. Sebenarnya, kekerasan dan tindakan lain yang sejenis merupakan tindakan yang dikutik semua agama. Sebaliknya, kedamaian dan kesejahteraan hidup merupakan misi semua agama.

Islam dan Kristiani, misalnya, sangat menekankan kepada penciptaan dan pengembangan iklim yang mencerminkan secara utuh kehidupan yang penuh kasih, damai, serta diliputi rahmat.

Dalam perspektif Islam, antara pengendalian diri dan penyebaran rahmat merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Setiap muslim dituntut menyebarkan rahmat dalam kehidupan dan dituntut selalu mengendalikan diri dari segala perbuatan merugikan sesama.

Untuk membangun ketakwaan, bulan Ramadhan menjadi bulan yang sangat tepat. Selain sebagai bulan pengendalian diri, Ramadhan juga bulan perdamaian. Sebab, pada bulan itu terdapat saat yang mulia yang disebut lailatul qadar. Pada waktu itu malaikat turun ke dunia untuk menyebarkan perdamaian.

Perdamaian adalah inti lailatul qadar, dan hakikat bulan Ramadhan. Dibalik semua itu, perdamaian Islam adalah substansi ajaran Islam.[8]

Dalam penyebaran ajaran semacam itu, Islam tidak berjalan sendiri. Agama Kristen memiliki kepedulian yang besar pula untuk menyebarkan perdamaian. Dari kitab Injil menurut Smith, mengisahkan tentang pengorbanan nyawa Yesus untuk sahabatnya. Konkritnya ia hadir untuk menyebarkan kasih dan damai dalam kehidupan. Inilah salah satu pesan Natal sehingga umat Kristiani diharapkan bisa kembali kepada ajaran Yesus.[9]

Konklusinya, Islam dan Kristen bersama agama lain menekankan ajarannya pada pembentukan moralitas perennial yang menuntut umat manusia untuk selalu mengembangkan kehidupan yang penuh kasih sayang dan damai. Namun, di tingkat realitas, kehidupan yang berkembang sekarang justru sangat jauh dari nilai dan pesan dua agama besar tersebut.

PENUTUP

Menyikapi kemandulan dalam krisis tersebut, tidak dapat menyalahkan agama yang kita anut, atau agama lain yang ada di dunia. Hal itu muncul bukan karena dari ajaran agama melainkan dari pandangan manusia terhadap agama yang belum sepenuhnya sesuai dengan nilai dan ajaran agama yang mereka anut.

Di satu pihak, hal itu muncul dari keberagaman yang bersifat ekstrinsik, agama dijadikan alat pencapaian kepentingan di luar kepentingan agama, sehingga terjadi politisasi agama dan semacamnya.

Pada sisi itu, rekonstruksi terhadap pemahaman agama perlu diupayakan secara sistematis, kontekstual, dan otentik, serta dijadikan komitmen bagi seluruh umat beragama.

Perdamaian akan tercipta dan tegak secara kukuh jika sikap dan perilaku umat dikembangkan ke arah yang menunjukkan kepedulian, persamaan dan toleran terhadap sesama.

Sebagai jalan keluar, agar kita kembali ke agama autentik, yakni, modus keberagamaan yang tidak sekedar bersetia dengan doktrin skriptual yang statis, tetapi sebuah iman yang hidup dan menghidupi kemanusiaan universal. Jika dunia ingin diselamatkan, kita harus memulainya dengan membersihkan unsur-unsur kebencian yang ada di dalam agama.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Maududi, Abd. A’la, Melampaui Dialog Agama, Jakarta: Buku Kompas, 2002.

Kimball, Charles, Kala Agama Jadi Bencana, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2003.

Maulani, Zani, dkk., Terorisme dan Konspirasi Anti Islam, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002.

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Wahid, Abdurahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Jakarta: Desantara Utama, 2006.



[1] Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2003, hlm. 51.

[2] ZA. Maulani, dkk., Terorisme dan Konspirasi Anti Islam, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002, hlm. 33.

[3] Ibid., hlm. 160.

[4] Ibid., hlm. 161.

[5] Abdurahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Jakarta: Desantara Utama, 2006, hlm. 25.

[6] Ibid., hlm. 27.

[7] Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 40

[8] Abd. A’la al-Maududi, Melampaui Dialog Agama, Jakarta: Buku Kompas, 2002, hlm. 168-169.

[9] Ibid., hlm. 170.




Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.