AMAL DALAM TEOLOGI K.H. MUHAMMAD SALEH AS-SAMARANI

4 Agustus 2009

AMAL DALAM TEOLOGI K.H. MUHAMMAD SALEH AS-SAMARANI

Oleh:

Prof. Dr. H. Ghazali Munir, M.A*

A. PENDAHULUAN

Muhammad Saleh Samarani, merupakan seorang ulama akhir abad XIX, dan merupakan pengikut paham Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah yang didirikan oleh al-Asy’ari. Namun, dalam masalah tertentu, ia berbeda pendapat dengan tokoh sentralnya, al-Asy’ari. Seperti tentang konsep iman dan kasab.

Amal, bagi Muhammad Saleh merupakan realisasi dari iman. Dan orang wajib melaksanakan kasab, tidak sah iman dan Islamnya orang awam, kecuali dengan kasab.

B. BIOGRAFI

Muhammad Saleh, lahir pada tahun 1820 di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara. Meninggal tahun 1903 di Semarang, dimakamkan di pemakaman umum Bergota, Semarang.[1] Makamnya banyak di ziarahi orang, baik dari Semarang dan sekitarnya, maupun dari daerah lain, khususnya pada upacara khaulnya pada setiap tanggal 10 bulan Syawwal.

Ayahnya bernama K. Umar, salah seorang prajurit P. Diponegoro, dalam perang Jawa melawan kaum kolonial Belanda tahun 1825-1930.[2] Seperti putra kiai pada umumnya, pertama-tama, ia mendapat pendidikan agama dari ayahnya. Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikan agamanya dari berbagai ulama atau kiai yang masyhur pada masanya, baik di Jawa maupun di Haramain, Makkah dan Madinah.[3]

Muhammad Saleh, setelah menyelesaikan pendidikan agamanya dari Haramain, Makkah dan Madinah, ia tinggal di Darat, suatu kawasan dekat pantai Semarang. Mendirikan pondok pesantren dan mengajar para santrinya, serta menulis karya ilmiahnya yang meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan agama Islam, menggunakan bahasa Jawa berhuruf Arab, sebanyak empat belas kitab, yaitu :

1. Faid ar-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan.

2. Kitab Hadis al-Mi‘raj.

3. Kitab Manasik Kaifiyat as-Salat al-Musafirin.

4. Kitab al-Mahabbah wa al-Mawaddah fi Tarjamah Qaul al-Burdah fi al-Mahabbah wa al-Madh ‘ala Sayyid al-Mursalin.

5. Lata’if at-Taharat wa Asrar as-Salat fi Kaifiyat Salat al-‘Abidin wa al-‘Arifin.

6. Majmu‘at asy-Syari‘at al-Kafiyat li al-‘Awam.

7. Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah.

8. Matn al-Hikam.

9. Minhaj al-Atqiya’ fi Syarh Ma‘rifat al-Azkiya’ ila Tariq al-Auliya’.

10. Al-Mursyid al-Wajiz fi ‘Ilm al-Qur’an al-‘Aziz.

11. Munjiyat Metik Saking Kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din al-Ghazali.

12. Pasalatan.

13. Syarh al-Barzanji.

14. Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘ala Jauharat at-Tauhid.

Kecuali menulis karya ilmiah tersebut, Muhammad Saleh juga mengajar para santri di pondok pesantrennya Darat. Karena itulah, ia terkenal dengan sebutan Muhammad Saleh Darat, masyarakat Semarang dan sekitarnya menyebutnya mbah Saleh Darat. Pada umumnya, para alumnus pondok pesantren yang dipimpinnya merupakan cikal bakal berdirinya pondok pesantren di Jawa, pada khususnya. Dan di antara alumnusnya, ada yang menjadi ulama bertaraf internasional dan melegenda. Seperti Syaikh Mahfuz at-Tirmisi, K.H. Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Muhammadiyah, dan K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU).[4]

Di samping mengajar di pondok pesantrennya, Muhammad Saleh juga mengajar di berbagai tempat, seperti Pendapa Kabupaten Demak. R.A. Kartini, pejuang emansipasi wanita, termasuk salah seorang yang pernah mengikuti di majlis pengajiannya.[5]

C. MASALAH AMAL

Al-Asy’ari sebagai tokoh sentral dari paham Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, menyatakan bahwa iman adalah tasdiq bi al-qalb atau billah, mu’min ‘inda Allah, min ahl al-jannah.[6] Seperti diungkapkan oleh al-Baghdadi, salah seorang tokoh dari Asy’ariyah, menyatakan bahwa iman adalah tasdiq tentang adanya Rasul dan berita yang dibawanya, dan harus disertai dengan pengetahuan.[7] Jelas iman bagi al-Asy’ari adalah tasdiq. Dalam hal ini, Muhammad Saleh dapat menerimanya, bahkan mengakuinya yang mu’tamad (dapat dipercaya), sehingga membaca dua kalimat syahadat merupakan syarat berlakunya hukum, dan amal merupakan syarat sempurnanya iman. Maka, jika tidak menyatakan dan tidak beramal, tetapi tasdiq bi al-qalb berarti iz’an, orang itu mu’min menurut Tuhan dan ahli surga.[8] Namun demikian, menanggapi hal tersebut, Muhammad Saleh menyatakan sebagai berikut : Adapun demikian itu, kalau matinya husn al-khatimah. Tetapi jarang terjadi orang yang tidak beramal matinya dapat husn al-khatimah, karena matinya manusia itu menurut perilaku hidupnya. Dan karena syaratnya husn al-khatimah itu amal salih.[9]

Dalam hal ini, Muhammad Saleh mengaitkan langsung antara iman dan amal, dengan menyatakan bahwa artinya Islam adalah melakukan amal dengan anggota badan, beserta iz’an,[10] di dalam hatinya. Maka jika membenarkan dalam hati dengan iz’an, dan melakukan amal dengan anggota badan melaksanakan agama Islam, orang itu mu’min muslim.[11] Jika hanya membenarkan iz’an saja beserta tidak beramal dengan anggota badan, orang itu mu’min belaka menurut Tuhan, tetapi tidak muslim. Jika beramal beserta anggota badan belaka, tanpa membenarkan dan tanpa iz’an, orang itu hanyalah muslim menurut manusia, kafir menurut Tuhan.[12]

Dengan demikian, adanya tiga unsur dalam iman, yaitu, tasdiq, qaul dan amal, bukanlah hal yang bersifat terpisah. Yakni qaul merupakan syarat berlakunya hukum, dan amal merupakan penyempurna bagi iman. Tetapi tiga unsur itu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sebab, amal bagi Muhammad Saleh merupakan realisasi bagi iman. Orang tidak dapat menyatakan terhadap seseorang itu sebagai beriman, jika tidak direalisasikan atau ditampakkan dengan amal perbuatan lahiriyah. Oleh karena itu, Muhammad Saleh mengaitkan secara langsung antara iman dengan amal, sehingga orang itu mu’min dan muslim secara bersama-sama.

Kesatuan antara iman dan amal tersebut, didukung pula oleh pendapat Muhammad Saleh tentang kasab. Jika al-Asy’ari menyatakan bahwa arti iktisab adalah sesuatu terjadi dengan perantara daya yang diciptakan, dan dengan demikian menjadi kasb atau perolehan bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul.[13] Lebih jelas lagi dalam kitab al-Luma’, menyatakan bahwa al-kasb adalah sesuatu yang timbul dari al-muktasib (yang memperoleh) dengan perantara daya yang diciptakan.[14] Hal ini, berarti manusia tinggal mengikuti atau terikat kepada yang menciptakan daya. Dengan kata lain, kasb merupakan ciptaan Tuhan, sehingga menghilangkan arti keaktifan, manusia menjadi bersifat pasif dalam perbuatannya. Hal ini, al-Asy’ari menggunakan dalil :[15] والله خلقكم وماتعملون, yang berarti Tuhan menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu.

Dalam hal yang sama (tentang kasb), Muhammad Saleh, berpegang seperti pendapat sebagian ulama yang lain, yaitu diartikan bekerja untuk keperluan kehidupan. Seperti berdagang, menggarap sawah atau bertani, penjahit dan tukang kayu. Sebab, jika orang bekerja, maka tidak tama’ terhadap haknya orang lain serta tidak mendekati cari muka (dhepe-dhepe) kepada orang lain.[16] Demikian ini, berarti orang mempunyai kebebasan untuk melaksanakan kehendak dan perbuatannya, dan karena itu pula perbuatan manusia mempunyai bersifat aktif dan kreatif. Bahkan, Muhammad Saleh mendorong orang untuk tidak bergantung kepada takdir (pasrah). Sebab, orang yang bergantung atau pasrah kepada takdir disebutnya kafir kepada Allah, wahyu dan Rasul. Lantaran, semua kitab Allah dan para Rasul-Nya menjelaskan dan perintah untuk melaksanakan amal salih, mencegah maksiat dan kufur. Tidak perintah menggantungkan takdir, wajib beramal. Dalam hal ini Muhammad Saleh menekankan : zaman ini tidak hanya utama kasb, bahkan wajib kasb. Karena, tidak sempurna iman dan Islamnya orang awam kecuali dengan harta.[17]

D. ANALISIS

Dari pembahasan di atas, menunjukkan bahwa perbedaan pendapat di antara sesama ahli pikir, seperti antara Muhammad Saleh dengan al-Asy’ari merupakan hal yang wajar. Sebab, masing-masing tokoh pikir, sebenarnya berdialog dengan lingkungan masyarakatnya masing-masing. Jika al-Asy’ari hidup pada seribu tahun sebelum Muhammad Saleh, yang dihadapinya adalah kaum Mu’tazilah, yang berpendapat bahwa semua kehendak dan perbuatan manusia, ditentukan oleh manusia sendiri, tidak terkait dengan kehendak dan perbuatan Tuhan. Jika paham ini yang dipegangi, berakibat timbulnya paham deisme, suatu paham yang mengakui adanya Tuhan, tetapi setelah Tuhan menciptakan segala sesuatu, Tuhan tidak ikut campur tangan lagi. Sebaliknya, Muhammad Saleh, hidup pada zaman kolonial Belanda abad XIX, yang berakibat pada kemiskinan, kebodohan, terutama kebodohan dalam bidang pengetahuan agama Islam, maka ia mewajibkan orang beramal dalam imannya dan melaksanakan kasab, yang diartikan bekerja untuk kehidupan. Hal ini terjadi karena adanya self indication, yaitu proses komunikasi yang sedang berjalan, individu mengetahui, memberi makna dan bertindak berdasarkan makna itu.[18]

E. KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Muhammad Saleh, dalam masalah iman menekankan amal, sehingga orang mu’min dan muslim secara bersama-sama. Amal merupakan realisasi bagi iman. Orang dapat disebut sebagai mu’min jika terdapat dalam amal lahiriyah.

Dalam hal ini, Muhammad Saleh berbeda pendapat dengan tokoh sentral dari paham yang dianutnya, yaitu Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, yang menyatakan iman adalah tasdiq mu’min menurut Allah dan termasuk golongan ahli surga.

2. Muhammad Saleh dalam masalah kasab, mengartikannya bekerja untuk kehidupan, seperti berdagang, bertani, penjahit dan tukang. Ini berarti perbuatan manusia bersifat aktif dan mempunyai kebebasan untuk melaksanakan kehendak dan perbuatannya. Sedang al-Asy’ari, berpendapat kasab, tidak lain hanyalah merupakan tempat berlakunya suatu perbuatan yang telah diciptakan, sehingga kasab bersifat pasif dan terikat dengan perbuatan Tuhan.

3. Perbedaan pendapat di kalangan ahli pikir, meskipun masih dalam satu golongan atau aliran, bahkan antara murid dengan gurunya, merupakan hal yang wajar. Sebab, pada hakekatnya masing-masing tokoh berdialog dengan lingkungan sosial masyarakatnya, yang disebut oleh Blumer sebagai self-indication.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Asy’ari, al-Luma’, Beirut: al-Katulikiyyah, 1953.

________, Maqalat al-Islamiyyin, juz 2, Beirut: al-‘Asriyyah, 1990.

Al-Baghdadi, Usul ad-Din, Constantinople: Madrasah al-Ilahiyat, 1928.

Abdullah Salim, Majmu’at asy-Syari’at al-Kafiyat li al-‘Awam (Suatu Kajian Terhadap Kitab Fiqh Berbahasa Jawa Akhir Abad 19), Jakarta: Disertasi Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1995.

H.M. Muchoyyar, HS., K.H. Muhammad Shaleh al-Samarani Studi Tafsir Faid al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik al-Dayyan, Yogyakarta: Disertasi Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 2000.

Herbert Blumer, Symbolic Interactionism Perspective and Method, London: University of California, 1998.

Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Muhammad Saleh ibn ‘Umar Samarani, al-Mursyid al-Wajiz fi ‘Ilm al-‘Aziz, Singapura: Muhammad Amin, 1317 H.

__________, Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘ala Jauharat at-Tauhid, Cirebon: al-Misriyyah, 1996.



* Prof. Dr. H. Ghazali Munir, M.A., adalah salah satu Guru Besar IAIN Walisongo Semarang di Fakultas Ushuluddin, yang mengkaji tentang kaidah-kaidah keislaman, ilmu kalam/tauhid dan lain sebagainya yang berkaitan dengan dunia Islam.

[1] Abdullah Salim, Majmu’at asy-Syari’at al-Kafiyat li al-‘Awam (Suatu Kajian Terhadap Kitab Fiqh Berbahasa Jawa Akhir Abad 19), (Jakarta: Disertasi Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1995), hlm. 21 dan 57-58.

[2] Ibid. Dan lihat, Menurut peter Cerey, seperti dikutip Karel A. Steenbrink, dalam ceramahnya berjudul Kaum Santri dan Perang Jawa, dihadapan rombongan dosen IAIN tanggal 10 April 1979 di Oxford Inggris menyatakan banyak kiai dan santri menolong Diponegoro, yaitu 108 kiai, 31 haji, 15 Syaikh, 12 pegawai penghulu dan, 4 kiai guru yang turut berperang bersama Diponegoro. Lihat, Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 30.

[3] Muhammad Saleh ibn ‘Umar Samarani, al-Mursyid al-Wajiz fi ‘Ilm al-‘Aziz, (Singapura: Muhammad Amin, 1317 H), h. 273-277.

[4] Abdullah Salim, op.cit., hlm. 45.

[5] H.M. Muchoyyar, HS., K.H. Muhammad Shaleh al-Samarani Studi Tafsir Faid al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik al-Dayyan, (Yogyakarta: Disertasi Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 2000), hlm. 11-12.

[6] Al-Asy’ari, al-Luma’, (Beirut: al-Katulikiyyah, 1953), hlm. 75.

[7] Al-Baghdadi, Usul ad-Din, (Constantinople: Madrasah al-Ilahiyat, 1928), hlm. 248.

[8] Muhammad Saleh ibn ‘Umar Samarani, Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘ala Jauharat at-Tauhid, (Cirebon: al-Misriyyah, 1996), hlm. 55.

[9] Ibid.

[10] Arti iz’an adalah menurut dan menerima perilaku agama Islam beserta mempercayai bahwa sesuatu yang wajib adalah wajib, meskipun tidak melaksanakannya. Dan sesuatu yang haram adalah haram meskipun melaksanakannya, serta tidak mau mengucapkan dua kalimat syahadat karena malas. Yang demikian ini disebut mu’min menurut Tuhan, karena dalam hatinya terdapat tasdiq. Lihat, Muhammad Saleh ibn ‘Umar, Sabil al-‘Abid, op.cit., hlm. 53-54.

[11] Ibid., hlm. 55.

[12] Ibid.

[13] Al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, juz 2, (Beirut: al-‘Asriyyah, 1990), hlm. 221.

[14] Al-Asy’ari, al-Luma’, op.cit., hlm. 42.

[15] QS. As-Saffat (37): 96.

[16] Muhammad Saleh ibn ‘Umar, Sabil al-‘Abid, op.cit., hlm. 317.

[17] Ibid., hlm. 317-319.

[18] Herbert Blumer, Symbolic Interactionism Perspective and Method, (London: University of California, 1998), hlm. 81.




Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.