URGENSI IMAN DAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DALAM PERSPEKTIF KULTURAL DAN HISTORIS

11 Juni 2009

URGENSI IMAN DAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DALAM PERSPEKTIF KULTURAL DAN HISTORIS

A. PENDAHULUAN

Iman bagi orang muslim merupakan fondasi utama dari kesadaran keagamaannya yang dalam berbagai wacana keagamaan senantiasa diperingatkan agar dijaga dan diperkuat serta penuh makna dan tafsiran. Peringatan tentang iman itu dari sumber aslinya (al-Qur’an) berkait erat dengan amal perbuatan yang merupakan tuntutan langsung dari iman spiritual itu, sehingga tidak ada iman tanpa amal. Ekspresi iman orang mukmin adalah melaksanakan perintah Tuhan, baik berkaitan langsung dengan Tuhan maupun dengan manusia (habl min Allah dan habl min an-nas).

Manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi berkewajiban melaksanakan tugas dan misinya secara benar agar bermanfaat bagi umat manusia dan lingkungannya. Dalam rangka itulah diperlukan memiliki ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, bersamaan antara kesadaran keimanan dan amal perbuatan itu yang dapat membentuk hidup berkualitas dan benar adalah adanya kepemilikan terhadap ilmu pengetahuan.

Kepemilikan terhadap ilmu pengetahuan merupakan bentuk sentral dari kesadaran beriman yang diperintahkan atau diperingatkan dalam berbagai kesempatan, seperti : “Barangsiapa menempuh perjalanan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga”, “Tuntutlah ilmu meskipun sampai ke negeri Cina”, “Carilah ilmu mulai dari buaian ibu sampai ke liang lahat”, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan”, dan firman Allah menyatakan yang artinya : “…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”,[1] dan masih banyak lagi perintah atau peringatan lain yang searti dengan hal-hal tersebut.

B. PERADABAN TERBUKA

Adanya perintah atau peringatan untuk menuntut ilmu dan dilandasi atas keimanan serta kebenaran perintah[2] tersebut dan mungkin realitas umat Islam masa lalu yang memiliki semangat keterbukaan merupakan realisasi dari rasa keadilan sebagai “ummatan wasatha”, umat penengah,[3] yang disebabkan posisi spiritualitasnya itu dan didukung oleh letak geografis daerah kekuasaannya di Timur Tengah yang membentang dari sungai Nil di sebelah barat sampai ke sungai Oxus di timur, yaitu daerah pusat kelahiran peradaban umat manusia, sehingga menjadi “agama terbuka” dan dengannya juga menjadikan semangat keterbukaan. Semangat keterbukaan itu melahirkan sikap positif bagi umat Islam klasik terhadap kebudayaan asing selama tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam, khususnya terhadap ilmu pengetahuan. Tentara Islam yang keluar dari Hijaz khususnya dan jazirah Arabia umumnya untuk melaksanakan “pembebasan” secara kultural tidak berbekal apapun kecuali ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Namun, karena dinamisnya maka menjadi dasar yang cukup untuk memandang dunia yang dinamis, yang kemudian akan memberi manfaat bagi seluruh umat manusia.

Sikap keterbukaan umat Islam itu didasari atas keimanan yang mantap. Sebab, iman dalam Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, bukan perasaan yang mudah mempercayai apa saja. Kebenaran dari iman bukanlah misteri-misteri, melainkan bersifat kritis dan rasional. Sifat reasonable dari iman ini ditunjukkan oleh himbauannya kepada akal pikiran dalam keadaan paling kritis. Keimanan terhadap Allah YME itu berimplikasi bahwa semua keberatan dan keraguan dapat diacukan kepada-Nya. Maka keimanan kepada Allah YME adalah pengakuan bahwa kebenaran dapat diketahui dan manusia dapat mencapainya,[4] sehingga sebagai orang beriman tidak memandang rendah peradaban yang berada dalam wilayah taklukannya. Kekayaan budaya Syiria, Persia dan Hindu mereka salin ke dalam bahasa Arab. Dan para khalifah, gubernur, dan tokoh-tokoh lain memberikan hadiah kepada para ahli yang melakukan tugas penerjemahan, sehingga kumpulan ilmu-ilmu “non-Islam” yang luas dapat diperoleh dalam bahasa Arab selama abad ke-9 dan ke-10. Karya-karya ilmu pengetahuan terus mengalir, baik ilmu kedokteran, fisika, astronomi, metafisika dan filsafat dari Yunani, sastra dari Persia, metafisika dan astronomi dari Hindu mengalir ke dalam bahasa Arab.[5]

Pandangan umat Islam yang positif terhadap berbagai budaya bangsa lain itu, maka peradaban Islamlah yang menurut Kneller[6] seperti dikutip oleh Nurcholish Madjid, yang pertama kali menyatukan khazanah bersama secara internasional dan kosmopolit. Sedang sebelumnya, telah ada ilmu pengetahuan seperti tersebut di atas, hanya saja sifat dan semangatnya sangat nasionalistik dan parokialistik dengan ketertutupan masing-masing karena merasa paling benar.[7]

C. ILMU PENGETAHUAN ZAMAN NABI DAN KHULAFA’ AL-RASYIDIN

Nabi Muhammad saw, kecuali sebagai Nabi juga pemimpin negara dan bahkan pemimpin peperangan di medan laga, dengan kata lain kecuali sebagai Nabi juga sebagai kepala negara dan bahkan panglima perang. Hal ini menunjukkan betapa banyak permasalahan yang dihadapi dan dipikul Nabi, baik yang berhubungan dengan permasalahan agama maupun permasalahan kehidupan lainnya, baik permasalahan sosial maupun politik, ekonomi dan keamanan, termasuk juga permasalahan ilmu pengetahuan (meskipun sebagai sesuatu disiplin ilmu belum timbul).

Ketika Nabi masih hidup, jika terdapat permasalahan yang dibawa oleh masyarakatnya dan ditunjukkan kepada Nabi untuk mendapatkan pemecahan hukum misalnya, maka Nabi langsung dapat memberikan jawaban dan sering pula atas sesuatu permasalahan kemudian turunlah wahyu. Di samping juga perilaku, ucapan dan penetapan Nabi dijadikan teladan (uswah) yang kemudian menjadi Sunnah.

Memperhatikan contoh aktif dari Nabi tersebut, menunjukkan adanya keseimbangan hidup dalam dunia ini, tidak hanya berorientasi pada permasalahan keagamaan atau akhirat semata, namun juga berorientasi pada permasalahan keduniaan. Dan agama yang dibawa oleh Rasulullah saw itu adalah agama yang mengajarkan sikap tengah dan seimbang, sehingga umatnya menjadi “ummatan wasatha”, umat yang adil dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupan di dunia ini. Hidup dengan sistem kependetaan yang hanya berorientasi pada kehidupan akhirat dan melupakan kehidupan dunia (materi) adalah tercela dan tidak dibenarkan oleh Islam. Demikian pula yang hanya berorientasi pada material dan sekuler, seperti halnya yang dilakukan oleh Fir’aun juga mendapat celaan dan diharamkan oleh Islam. Hidup dengan sikap tengah, seimbang dan memandang adil dengan berorientasi pada kebahagiaan dan kejayaan dunia-akhirat merupakan cita-cita hidup yang diajarkan oleh Islam. Di sini tampak bahwa inti ajaran Islam adalah iman dan amal shaleh. Maka sikap aktif yang dicontohkan Nabi tersebut diatas, memberikan keteladanan bagi umatnya agar memandang perjuangan membina kesejahteraan masyarakat sebagai amal saleh yang jauh lebih besar pahalanya daripada hidup menyendiri (uzlah) untuk berpuasa dan berzikir terus menerus. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa suatu ketika ada sahabat Nabi yang memuji-muji tetangganya yang melaksanakan puasa dan shalat terus-menerus siang dan malam. Kemudian Nabi bertanya “Siapa yang memberi makan kepadanya”. Lalu dijawab, kami yang memberi makannya. Maka Nabi bersabda: “Kamu lebih baik daripadanya”. Jawaban Nabi ini sesuai dengan firman Allah surat al-‘Asr dalam al-Qur’an yang inti ajaran Islam berpusat pada iman dan amal saleh.[8] Hal ini dicontohkan pula oleh Nabi sebagai kepada negara yang mengurusi masyarakat dengan segala problematika hidupnya serta sebagai panglima perang yang mengurusi segala permasalahan sosial, politik dan keamanan. Demikian ini berarti Nabi disamping mengajarkan agama, juga mengurusi dan bertanggungjawab terhadap permasalahan-permasalahan dunia dalam rangka melaksanakan ajaran keseimbangan antara keperluan dunia dan akhirat. Seperti firman Allah dalam surat al-Qashash ayat 77 yang artinya :

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.[9]

Untuk dapat melaksanakan amal shaleh sebagaimana yang digariskan oleh Islam, manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi, agar dapat mengarungi kehidupan dengan segala permasalahan yang sangat komplek diperlukan adanya kepemilikan terhadap ilmu pengetahuan. Dalam suatu riwayat Nabi pernah ditanya oleh seorang sahabat tentang urusan dunia, dan Nabi menjawabnya “Engkau lebih mengetahui urusan duniamu”. Jika riwayat ini diperhatikan maka dapat ditemukan terdapatnya suasana dialogis antara si penanya (seorang sahabat) dengan Nabi. Suasana dialogis ini pada saatnya nanti akan berkembang menjadi ilmu tersendiri yaitu ilmu Adab al-Bahts wa al-Munadlarah dan ilmu al-Jadal (debat) yang berkembang di madrasah-madrasah dan pesantren guna menumbuhkan penalaran logis dan kritis atas dasar semangat keagamaan (iman dan taqwa) sehingga mampu melahirkan pemikir ulung (baca: mujtahid). Dan suasana dialogis itu sebenarnya telah didahului oleh manusia ketika masih berada di alam arwah dengan Tuhan, menurut Nurcholish Madjid disebut sebagai perjanjian primordial.[10] Seperti dilukiskan dalam firman Allah surat al-A’raf ayat 172 yang artinya :

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".[11]

Upaya Nabi dalam berjihad dan aktif mengembangkan masyarakat yang baru dibentuknya di pusat kota Madinah diteruskan oleh para penggantinya, yaitu para Khulafa’ al-Rasyidin yang memandang posisi dan jabatan kenegaraan sebagai medan yang paling mulia untuk beramal saleh dan kejayaan agama dan umat manusia, bukan untuk kepentingan pribadi dan golongan ataupun keluarga. Kepentingan agama dan umat manusia di atas segalanya. Dan lebih utama lagi pada periode Madinah ini (Nabi dan Khulafa’ al-Rasyidin) dijiwai oleh ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah, sehingga al-Qur’an dikaji secara langsung dan dihayati, maka pemikiran dan pengamalan Islam berkembang secara harmonis, yakni terjadinya perkembangan serentak antara iman, Islam dan ihsan. Iman memancarkan cahaya Islam dan ihsan secara bersama. Pengamalan Islam dilandasi oleh keyakinan agama dan pancaran moralitas Islam (ihsan). Namun setelah pemerintahan pindah ke Damaskus, Cordova, kemudian Baghdad terjadi perkembangan pemikiran Islam yang berat sebelah, yaitu mulai tumbuh pemikiran murni yang melepaskan diri dari perasaan keagamaan ke arah pengutamaan legalisme dan formalisme yang memunculkan ilmu kalam dan fiqh. Sehingga pemahaman agama berubah menjadi “parsial”. Mungkin orang mengetahui fiqh, namun tidak mengetahui ilmu kalam, tasawuf, atau sebaliknya dan sebagainya.[12]

D. ILMU PENGETAHUAN PADA MASA BAGHDAD

Menurut Fazlur Rahman, pada abad pertengahan ini terdapat dua tipe pendidikan yang disampaikannya, yaitu pendidikan sekolah istana bagi putra mahkota dengan maksud untuk mereka menjadi penguasa pada masa depan yang meliputi pendidikan keagamaan yang menitikberatkan pada pidato, kepustakaan dan lain-lain dengan mengutamakan pada “sifat-sifat keperkasaan”. Dan tipe yang lain dapat disebut sebagai pendidikan orang dewasa yang diberikan kepada banyak orang dengan tidak terlalu banyak mengajarkannya kepandaian membaca al-Qur’an dan keimanan. Dari sinilah sekolah-sekolah memberikan pelajaran yang lebih tinggi tumbuh melalui halaqah, di mana para murid mengerumuni seorang guru tertentu. Dari halaqah-halaqah itu timbul intelektualisme yang tinggi, sehingga timbul mazhab-mazhab dalam hukum Islam (fiqh),[13] yang dilakukan oleh para pemikir ilmu agama yang bermental mujtahid. Upaya keras yang mereka lakukan (ijtihad), yaitu penggunaan penalaran kritis dan mendalam untuk memahami isi kandungan al-Qur’an dan Hadits yang merupakan sumber utama dalam agama, memahami dan menafsirkannya sesuai dengan tuntutan dan perubahan zaman. Dengan demikian, para mujtahidlah yang menjadi tulang punggung dan pemuka agama setelah zaman Nabi.[14]

Ijtihad pada masa Nabi memang belum berkembang, namun Nabi tidak melarang atas jawaban Mu’adz ibn Jabal ketika akan diutus ke Yaman untuk memberikan hukum yang mengatakan dengan ijtihad (ajtahidu bi al-ra’yi) jika tidak ditemukan dalam al-Qur’an maupun Hadits. Hal ini menunjukkan penggunaan intelektual dan kritis untuk memberikan jawaban atas berbagai masalah yang timbul sesuai dengan kondisi dan situasi yang berkembang merupakan tuntutan agama, termasuk dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan dalam ayat-ayat al-Qur’an sering menggunakan ungkapan “apakah kamu tidak berpikir”, “apakah kamu tidak berakal”, “apakah kamu tidak memperhatikan”, dan sebagainya.

Masalah ijtihad, mulai berkembang dan sangat diperlukan pada masa Khulafa’ al-Rasyidin, seperti pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama pengganti Nabi, juga ketika Abu Bakar memutuskan untuk memerangi umat Islam yang tidak mau membayar zakat, Umar ketika memutuskan tidak memotong tangan bagi seorang pencuri dan sebagainya. Kemudian pada masa pemerintahan Bani Umayyah, karena adanya kebutuhan-kebutuhan riil untuk mengatasi persoalan-persoalan umat makin menyuburkan perkembangan ijtihad dan lebih subur lagi pada zaman kebesaran Bani Abbasiyah dengan ibu kota kerajaannya di Baghdad. Bahkan di kerajaan Islam di wilayah barat, yaitu Cordova juga menjadi pusat munculnya ulama mujtahid sebagaimana di Baghdad.

Kemampuan dalam pengembangan intelektual umat Islam untuk melaksanakan ijtihad tersebut disebabkan mereka mampu menyerap dan memanfaatkan ilmu filsafat dan mantiq (logika) yang mendorong kemampuan pengembangan norma berpikir ilmiah yang kemudian mampu melahirkan pertumbuhan dan perkembangan berbagai macam ilmu-ilmu keislaman. Kemampuan berpikir kritis dan logis itulah kunci utama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Tanpa adanya dukungan norma berpikir logis sesuai dengan norma logika, maka semua cabang ilmu-ilmu keislaman akan lumpuh. Jika pemikiran ilmiah yang logis itu melemah seperti terjadi sesudah abad ke-13 M, setelah runtuhnya Baghdad, kemampuan ijtihad bagi masyarakat muslim mengalami stagnasi yang berkepanjangan. Hingga saat ini semua cabang ilmu-ilmu keislaman boleh dikatakan mengalami kelumpuhan, tidak ada perkembangan yang berarti. Demikian ungkapan M. Arkoun[15] yang dinukil oleh Amin Abdullah.[16]

Terjadinya stagnasi itu tentu banyak faktor, salah satunya adalah terletak pada sistem pengembangan ilmu pengetahuan atau pendidikan. Sebab, keunggulan atau kemerosotan kualitas intelektual adalah terletak pada sistem yang dipergunakan dalam pendidikan itu. Sebagai suatu analisis pengembangan ilmu pengetahuan atau pendidikan saat itu diarahkan pada penumbuhan daya intelektual yang logis dan kritis. Sebenarnya masyarakat muslim saat itu telah memiliki modal iman dan taqwa, sehingga tinggal mengasah ketajaman intelektual yang logis dan kritis untuk menggali dan mengembangkan berbagai macam cabang ilmu-ilmu keislaman yang mempunyai sifat kebenaran yang relatif (sementara) sebelum dasar dari hadits sahih ditemukan. Maka hasil dari pengembangan intelektual tidak pernah mutlak benar. Sebab dipengaruhi oleh iklim pemikiran yang terkait dengan ruang dan waktu serta tingkat pemahaman masing-masing individu, sehingga diperlukan kajian ulang setiap saat.

E. TANTANGAN KE DEPAN

Kini timbul persoalan yang menghantui umat Islam, bisakah dewasa ini melahirkan pemikir muslim, seperti imam-imam madzhab dalam hukum Islam, filosof, tokoh-tokoh mutakallimin, dan sebagainya sebagaimana zaman kejayaan Islam pada masa lampau. Dalam hal ini harus ada jiwa optimisme, jawabnya: bisa. Ini bukan romantisme, melainkan rasional. Karena, zaman dahulu ketika media perlengkapan yang diperlukan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan belum selengkap dan secanggih sekarang saja bisa, apalagi kini dengan dukungan teknologi modern tentu lebih bisa.

Untuk merealisasikan jiwa optimisme itu harus memperhatikan sistem dan metode yang dipergunakan dalam pengembangan ilmu pengetahuan saat itu, sehingga mampu melahirkan pada pemikir muslim untuk mengembangkan berbagai macam ilmu-ilmu keislaman dan sebagainya. Jika diperhatikan sistem dan metode yang dipergunakan dalam pengembangan ilmu pengetahuan pada zaman keemasan Baghdad dan Cordova dahulu tampaknya lebih menekankan sistem dialog dan diskusi dan bahkan meningkat menjadi perdebatan, tidak hanya menekankan hafalan, dan bahkan pada lembaga-lembaga pendidikan dimasukkan pelajaran Adab al-Bahtsi wa al-Munadlarah (aturan berdiskusi dan dialog) dan juga ilmu Jadal (debat). Seperti di pesantren Basrah terjadi perdebatan dan diskusi antara Wasil ibn ‘Atha’ dengan gurunya Hasan al-Basri yang kemudian melahirkan aliran Mu’tazilah. Perdebatan antara al-Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’i yang kemudian mendorong lahirnya aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, dan sebagainya. Dengan demikian banyak lahir madzhab-madzhab (aliran) baru yang muncul setelah terjadi diskusi dan debat yang mendalam antara murid dan guru. Di sini murid diajak menilai, mengevaluasi secara kritis, mengkaji persoalan dan pemecahannya.[17] Sehingga memposisikan dirinya sebagai mitra belajar untuk menemukan kebenaran dengan muridnya, dan karena itu pula terjadi komunikasi dua arah antara guru dan murid.

Guru sebagai seorang yang bertanggungjawab dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam melaksanakan tugasnya harus memiliki disiplin moral,[18] yang dijiwai oleh keimanan, yaitu sifat jujur. Konsekuensi dari hakekat kebenaran yang dituntut oleh ilmu pengetahuan merupakan salah satu sifat yang harus dikembangkan pada anak didik (murid). Karena kebenaran ilmiah tidak dapat berkompromi dengan ketidak-jujuran. Kegiatan ilmiah merupakan suatu aspek moral yang sangat dijunjung tinggi dan hukuman moral “lebih pahit dari pengadilan”. Sekali saja seorang ahli ilmu pengetahuan (ilmuwan) mengeluarkan statemen yang tidak benar, maka pihak lain sangat sulit untuk mempercayainya baik terhadap karya maupun pribadinya.[19] Demikian juga sifat berani dalam mempertahankan kebenaran yang dapat dikembangkan, seperti Galileo berani berkorban untuk membela sesuatu yang dianggapnya benar. Dan juga sifat toleran, tidak apriori mengambil referensi dari pihak lain, serta tidak menuntut kemutlakan.[20] Sebab, semua hasil ilmu pengetahuan tidak pernah ada yang memiliki kebenaran mutlak, kebenarannya hanyalah bersifat relatif atau sementara, sehingga senantiasa harus siap menerima kritik dan dikaji ulang.

F. PENUTUP

Dari uraian di atas dapat disampaikan kesimpulan, bahwa bagi orang beriman pengembangan ilmu pengetahuan merupakan kesadaran keagamaannya yang didasari oleh keimanan. Iman menuntut adanya amal saleh dan sifat mulia dalam rangka pengembangan intelektual dan kritis untuk menangkap dan memahami realitas yang tumbuh dan berkembang pada zamannya.

Pengembangan intelektual dan keterbukaan telah dilaksanakan pada zaman permulaan Islam yaitu dengan munculnya tokoh-tokoh intelektual muslim, mujtahid, filosof, imam madzhab, mutakallimin dan sebagainya, sehingga cabang-cabang ilmu pengetahuan Islam dan lainnya dapat tumbuh subur.

Pengembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam dewasa ini dan akan datang dapat berjaya kembali seperti zaman keemasan Islam dengan memperhatikan sistem dan metode yang dipergunakan saat itu. Dalam hal ini jika diperhatikan tidak hanya mengutamakan hafalan, namun mengutamakan diskusi dan dialog antara guru dan murid yang kemudian menimbulkan aliran-aliran dalam disiplin ilmu-ilmu keislaman.

Dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dewasa ini, agar tidak terpengaruh dari godaan-godaan yang bertentangan dengan keimanan dan kebenaran ilmiah yang ingin diraihnya, maka guru, ilmuwan harus memiliki disiplin moral yang tinggi dan juga dikembangkan pada peserta didik (murid)-nya.

Demikianlah uraian ini, semoga ada manfaatnya. Amin.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim

Abraham S. Halkin, “The Judeo-Islamic Age, The Great Fusion”, Leo W. Schwarz, (ed.), Great Age and Ideas of The Jewish People, New York: The Modern Library, 1956.

Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

C.P. Snow, “The Moral Un-Neutrality of Science” Paul C. Olber dan Herman A. Estrin, (ed.), The New Scientist: Essays on The Methods and Values of Modern Science, New York: Doubeday, 1962.

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994.

Fazlur Rahman, Islam, cet. II, Chicago and London: University of Chicago Press, 1979.

George F. Kneller, Science as a Human Endeavor, New York: Columbia University Press, 1978.

Isma’il Raji al-Faruqi, Tauhid, cet. I, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka, 1988.

Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik, Jakarta: Gramedia, 1986.

M. Arkoun, Tarikhiyyatu al-Fikr al-‘Araby al-Islamy, Beirut: Markaz al-Ima al-Qaumi, 1986.

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, cet. I, Jakarta: Paramadina, 1992.

Peter R. Senn, Social Science and Its Method, Boston: Halbrook, 1971.



[1] QS. Al-Mujadalah/58: 11.

[2] QS. Ali Imran/3: 137.

[3] QS. Al-Baqarah/2: 143.

[4] Isma’il Raji al-Faruqi, Tauhid, cet. I, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka, 1988, hlm. 44-45.

[5] Abraham S. Halkin, “The Judeo-Islamic Age, The Great Fusion”, Leo W. Schwarz, (ed.), Great Age and Ideas of The Jewish People, New York: The Modern Library, 1956, hlm. 218.

[6] George F. Kneller, Science as a Human Endeavor, New York: Columbia University Press, 1978, hlm. 4.

[7] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, cet. I, Jakarta: Paramadina, 1992, hlm. 135.

[8] QS. Al-‘Asr/103: 1-3.

[9] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994, hlm. 623.

[10] Nurcholish Madjid, op.cit., hlm. 2. dan 11. catatan kaki no. 13.

[11] Departemen Agama, op.cit., hlm. 250.

[12] Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, hlm. 9-10.

[13] Fazlur Rahman, Islam, cet. II, Chicago and London: University of Chicago Press, 1979, hlm. 181-182.

[14] Amin Abdullah, op.cit., hlm. 10.

[15] M. Arkoun, Tarikhiyyatu al-Fikr al-‘Araby al-Islamy, Beirut: Markaz al-Ima al-Qaumi, 1986, hlm. 117-118.

[16] Amin Abdullah, op.cit., hlm. 11.

[17] Ibid., hlm. 13-14.

[18] C.P. Snow, “The Moral Un-Neutrality of Science” Paul C. Olber dan Herman A. Estrin, (ed.), The New Scientist: Essays on The Methods and Values of Modern Science, New York: Doubeday, 1962, hlm. 133.

[19] Peter R. Senn, Social Science and Its Method, Boston: Halbrook, 1971, hlm. 27.

[20] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik, Jakarta: Gramedia, 1986, hlm. 33.

Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.