RIBA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

10 November 2008

RIBA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


I. PENDAHULUAN

Setelah kita membahas riba dan berbagai permasalahannya, kita akan menganalisis bunga dengan berbagai implikasinya, baik dari segi ekonomi, produktivitas usaha, dampak kejiwaan, hubungan antar anggota masyarakat, demikian juga akibatnya terhadap akumulasi utang negara berkembang.

Ada beberapa syarat utama untuk dapat memahami bunga dan kaitannya dengan riba, yaitu menghindarkan diri dari kemalasan ilmiah yang cenderung pragmatis dan mengatakan bahwa praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan lembaga-lembaga keuangan ciptaan Yahudi sudah sejalan dengan ruh dan semangat Islam. Tunduk dan patuh kepada aturan Allah dan Rasulullah dalam segala aspek termasuk dimensi ekonomi dan perbankan, seperti dalam firman Allah SWT

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. (al-Ahzab : 36)

II. PEMBAHASAN

A. Riba

Riba yang berasal dari bahasa Arab artinya tambahan (ziyadah, Arab/addition, Inggris), yang berarti : tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman.

اَلرِّبَـافيِ الشَّرْعِ هُوَ فَصْلٌ خَـالٍ عَنْ عِوَاضٍ شُرِطَ ِلاَحَدِالْـعَاقِدِيْنَ

Kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad / transaksi.

Ada yang membedakan antara riba dan rente/bunga seperti bahwa riba adalah untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan rente/riba untuk pinjaman yang bersifat produktif.

Adapun dampak akibat praktek riba itu antara lain ialah :

1. Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin

2. Uang modal besar yang dikuasai oleh the haves tidak disalurkan ke dalam usaha-usaha yang produktif, misalnya pertanian, perkebunan, industri, dan sebagainya yang dapat menciptakan lapangan kerja banyak, yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi pemilik modal sendiri, tetapi modal besar itu justru disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif.

3. Bisa menyebabkan kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga, jika si peminjam itu tidak mampu mengembalikan pinjaman dan bunganya.

Karena melihat bahaya besar atau dampak negatif dari praktek riba itulah, maka Nabi Muhammad membuat perjanjian dengan kelompok Yahudi, bahwa mereka tidak dibenarkan menjalankan praktek riba dan Islam pun dengan tegas nelarang riba. Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang membicarakan riba secara eksplisit. Pada periode Mekah sebelum hijrah, Allah berfirman dalam surat ar-Rum ayat 39, yang menerangkan bahwa bagi Allah orang itu sebenarnya tidak melipatgandakan hartanya dengan jalan riba, melainkan dengan jalan zakat yang dikeluarkan karena Allah semata-mata.

Di dalam hadits-hadits Nabi, yang menegaskan bahwa riba itu termasuk tujuh dosa besar, yakni syirik, sihir, membunuh anak yatim, melarikan diri waktu pertempuran dan menuduh zina wanita yang baik-baik.

لَعَـنَ الله ُ آكِلَ الرِّبَـا وَهُوَ كِلَّهُ وَشَــاهِـدَيْهِ وَكَاتِبَـهُ (الحديث)

Allah mengutuk orang yang mengambil riba (orang yang memberi pinjaman), orang yang memberikan riba (orang yang utang), dua orang saksinya, dan orang yang mencatatnya.

Ibnu al-Qayyim, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Isa menerangkan bahwa riba ada dua macam, yaitu :

a. Riba yang jelas, yang diharamkan karena adanya keadaan sendiri, yaitu riba nasiah (riba yang terjadi karena adanya penundaan pembayaran hutang). Riba nasiah ini hanya di perbolehkan dalam keadaan darurat.

b. Riba yang samar, yang diharamkan karena sebab lain, yaitu riba yang terjadi karena adanya tambahan pada jual beli benda/bahan yang sejenis.

اَلْحَــاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَـةَ الضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْطُوْرَاتِ.

Hajat (keperluan yang mendesak/penting) itu menempati di tempat terpaksa, sedangkan keadaan darurat itu menyebabkan boleh melakukan hal-hal yang dilarang.

B. Bank non-Islam (Convensional Bank)

Bank non Islam atau convensional bank, ialah sebuah lembaga keuangan yang berfungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana, baik perorangan atau badan guna investasi dalam usaha-usaha yang produktif dan lain-lain dengan sistem bunga, sedangkan bank Islam, ialah sebuah lembaga keuangan yang menjalankan operasinya menurut hukum Islam. Sudah tentu bank Islam tidak memakai sistem bunga, sebuah bunga dilarang oleh Islam.

Sebagai pengganti sistem bunga Bank Islam menggunakan berbagai cara yang bersih dari unsur ribam antara lain ialah sebagai berikut :

a. Wadiah (titipan uang, barang dan surat berharga dan deposito). Lembaga fiqh Islam bisa diterapkan oleh Bank Islam dalam operasinya menghimpun dana dari masyarakat dengan cara menerima deposito berupa uang, barang, dan surat-suart berharga sebagai amanah yang wajib dijaga keselamatannya oleh Bank Islam. Bank berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar imbalannya, tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu pada waktu pemiliknya (depositor) memerlukannya.

b. Mudharabah (kerjasama antara pemilik modal dengan pelaksana atas dasar perjanjian profit and loss sharing. Dengan mudharabah ini, bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan perjanjian modal kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan perjanjian bagi hasil dan rugi yang perbandingannya sesuai dengan perjanjian, misalnya fifty-fifty. Dalam mudharabah ini, bank tidak mencampuri manajemen perusahaan.

c. Bank Islam boleh pula mengelola zakaat di negara yang pemerintahannya tidak mengelola zakat secara langsung. Dan bank juga dapat menggunakan sebagian zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif yang hasilnya untuk kepentingan agama dan umum.

C. Hukum Bermuamalah Dengan Bank Konvensional dan Hukum Mendirikan Bank Islam

Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat Islam hampir tidak bisa menghindar diri dari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai sistem bunga itu dalam segala aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misalnya ibadah haji di Indonesia umat Islam harus memakai jasa bank apalagi dalam kehidupan ekonomi tidak bisa lepas dari jasa bank. Sebab tanpa jasa bank, perekonomian Indonesia tidak selancar dan semaju seperti sekarang ini. Namun para ulama dan cendekiawan muslim hingga dini masih tetap berbeda pendapat tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga bank.

Menurut penulis, alasan ulama dan cendekiawan muslim membolehkan bahkan menganjurkan berdirinya bank Islam dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Umat Islam telah berada dalam keadaan darurat, sebab dalam kehidupan modern sekarang ini umat Islam hampir tidak bisa menghindarkan diri dari bermuamalah dengan bank dengan sistem bunga dalam segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan agama / ibadahnya.

2. Untuk menyelamatkan umat Islam dari praktek bunga yang mengandung unsur pemerasan (eksploitasi) dari si kaya terhadap si miskin atau orang yang kuat ekonominya terhadap yang lemah ekonominya.

3. Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam dengan bank non-Islam yang menyebabkan umat Islam berada di bawah kekuasaan bank, sehingga umat Islam tidak bisa menerapkan ajaran agamanya dalam kehidupan pribadi dan masyarakat, terutama dalam kegiatan bisnis dan perekonomiannya.

4. Untuk mengaplikasikan ketentuan fiqh, اَلْحُرُوْجُ مِنَ الْخِلاَفِ مُسْتَحَتٌ (menghindari perselisihan ulama itu sunat hukumnya). Sebab ternyata sehingga kini ulama dan cendekiawan muslim masih beda pendapat tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional, karena masalah bunga bank yang masih tetap kontrovesial (haram/syubhat/halal).

D. Bank Islam di Indonesia

Telah lama umat Islam di Indonesia mendambakan adanya bank dengan sistem syari’at Islam (tanpa bunga) dan ikhtiar-ikhtiar untuk menuju kearah itu telah lama dilakukan. Karena itu, patut di syukuri berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991, setelah diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan didorong oleh cendekiawan muslim Indonesia (ICMI) kemudian direstui dan disponsori Presiden.

Setelah BMI sebagai bank umum dengan sistem bagi hasil berdasarkan syari’at Islam berdiri pada tahun 1991 dengan total modal Rp. 120 Milyar yang terkumpul hanya dalam tempo 3 hari, kemudian disusul dengan lahirnya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) pada tahun 1992 di berbagai daerah di Indonesia.

1. Tujuan BMI dan BPR dengan sistem bagi hasil berdasarkan syariat Islam antara lain adalah :

a. Untuk meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat terbanyak bangsa Indonesia, sehingga semakin berkurang kesenjangan sosial ekonomi dan dengan demikian akan melestarikan pembangunan nasional antara lain melalui :

- Peningkatan kuantitas dan kualitas kegiatan usaha

- Peningkatan kesempatan kerja dan

- Peningkatan pendapatan masyarakat banyak

b. Untuk meningkatkan partisipasi msyarakat banyak dalam proses pembangunan terutama dalam bidang ekonomi keuangan karena:

- Masih cukup banyak yang enggan berhubungan dengan bank itu riba

- Masih banyak masyarakat yang menganggap bunga bank itu riba

- Dengan berhasilnya pembangunan di bidang agama makin banyak masyarakat yang mempersoalkan hukum bunga bank

2. Produk-Produk operasional BMI

Pada umumnya produk-produk operasional bank konvensional juga dilakukan dan dikembangkan oleh BMI, tetapi tidak dengan sistem bunga seperti yang dilakukan oleh bank konvensional, melainkan dengan sistem bagi hasil berdasarkan syariat Islam.

a) Produk-produk BMI yang ditawarkan kepada masyarakat antara lain dalam bentuk :

a. Giro titipan (wadi’ah)

- Giro wadiah untuk ibadah, masjid, baitul maal, bazis, dan sebagainya

- Giro wadi’ah untuk muamalah, terdapat saldo rata-rata diatas jumlah tertentu dalam waktu tertentu dengan hak laba.

b. Deposito bagi hasil / mudharabah

c. Simpanan mudharabah namun dibenarkan adanya mutasi tanpa perjanjian, sehingga perlu perhitungan saldo rata-rata.

1) Tabungan mudharabah ibadah haji

- Dapat dijadikan jaminan fasilitas kredit bank

2) Tabungan mudharabah muamalah

- Untuk beasiswa, nikah, rumah dan sebagainya

- Bagian laba diperhitungkan sesuai dengan saldo rata-rata dalam waktu tertentu

- Dapat dijadikan jaminan fasilitas kredit bank.

b) Produk penyaluran dana berupa :

- Kredit bagi hasil mudharabah

- Kredit pemilikan barang jatuh tempo

- Kredit pemilikan barang cicilan

- Kredit kebijakan

III. KESIMPULAN

Dapat diambil kesimpulan, bahwasanya riba itu hukumnya haram dan tidak diperbolehkan dan hukum bunga bank konvensional hukumnya sama dengan riba dan bank Islam sistemnya bagi hasil yang diperbolehkan agama.

DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, PT. Toko Gunung Agung, Jakarta, 1987

2. M. Daud Ali, Kedudukan Hukum dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta, 1984.

3. MUI, Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984.

Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.