PEMBINAAN KEBERAGAMAAN

21 April 2011

PEMBINAAN KEBERAGAMAAN

1.      Arah Pembinaan Keberagamaan
Sikap masyarakat, baik kelompok maupun sederhana memiliki nilai yang melembaga antara yang satu dengan lainnya yang berhubungan erat sehingga merupakan suatu sistem yaitu pedoman dari konsep ide dalam kebudayaan yang mendorong kuat terhadap arah kehidupan bagi seseorang. Salah satu sistem itu adalah agama.
Agama merupakan refleksi atas iman yang tidak hanya merefleksikan sejauhmana kepercayaan agama diungkapkan dalam kehidupan agama, baik berhubungan dengan aspek sosial. Karena kehidupan merupakan segala sesuatu tindakan, perbuatan, kelakuan, yang telah menjadi kebiasaan, dan keberagamaan dapat menjadi prilaku keagamaan yang berlangsung/teks yaitu al-Qur’an dan Hadits.[1]
Dalam hal ini masalah keberagamaan dapat menjadi masalah yang selalu hadir dalam sejarah kehidupan umat manusia dan sepanjang masa. Perilaku hidup beragama yang amat luas dan terbesar ke muka bumi ini, menjadi bagian dari hidup keberdayaan yang dapat dikembangkan dalam aneka corak sosial yang berbeda. Sedangkan kehidupan keberagamaan dapat diwujudkan sebagai tindakan ataupun perilaku mengenai keyakinan dalam agama.
Kesadaran agama dalam pengalaman seseorang lebih menggambarkan sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral. Dari kesadaran agama serta pengalaman keagamaan maka  akan muncul sikap keberagamaan yang ditampilkan oleh seseorang. Hal ini dapat mendorong seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama.
Masalah keagamaan pada kehidupan kebergamaan dapat dilihat dari hubungan persepsi seseorang mengenai kepercayaan yang berupa tingkat pikir manusia dalam proses berfikir, sehingga dapat membebaskan manusia dari segala unsur yang terdapat dari luar fikirannya. Dalam hal ini kehidupan keberagamaan mencakup beberapa dimensi. Diantaranya; dimensi pemaknaan agama, ritual dan ibadah, sosialisasi agama, dan menyangkut dimensi pengalaman keagamaan.

1)      Dimensi Pemaknaan Agama

Makna agama bagi setiap orang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh faktor pengetahuan, fisiologis, dan latar belakang budaya yang mempengarui terhadap pemaknaan agama. Menurut Dr. Harun Nosution sebagaimana dikutip oleh Muh. Imin, bahwa “agama” berasal dari bahasa Sankrit yang berarti teks atau kitab suci, dan mengandung ajaran yang menjadi tuntutan hidup bagi penganutnya.[2]
Pemaknaan agama merupakan faktor terpenting dalam menentukan cara beragama seseorang. Penampilan keberagamaan, pelaksanaan ritual dan ibadah, sosialisasi dan intelektual agama, serta pengetahuan agama dapat mempengaruhi seseorang dalam memberikan makna agama oleh dirinya, misalnya kalau agama diberi makna suplemen hidup, maka berarti dalam diri seseorang itu banyak norma yang mengatur hidupnya. Agama bukanlah satu-satunya hukum tertinggi yang harus ditaati. Karena agama dimaknakan sebagai komplemen kehidupan, maka agama harus hadir dalam setiap denyut kehidupan, sehingga semua aktifitas baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan ibadah, harus dijiwai oleh semangat keagamaan. Pemaknaan agama bermula dari pengalaman pribadi karena agama mempunyai sifat yang sangat pribadi, tetapi pemaknaan agama, telah menjadi kesadaran kolektif, sehingga pemaknaan agama akan menjadi cerminan budaya masyarakat.
Elizabeth K. Nottingham, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin berpendapat bahwa agama bukanlah sesuatu yang dapat dipahami melalui definisi, melainkan melalui deskripsi (penggambaran).[3] Agama merupakan gejala yang sering “terdapat di mana-mana” serta berkaitan dengan usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta. Agama melibatkan dirinya dalam masalah kehidupan sehari-hari sehingga dapat dijadikan keyakian manusia terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati (supernatural) yang menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan.       

2)      Dimensi Ritual dan Ibadah

Lingkungan menjadi salah satu kategori masyarakat yang memiliki ritual yang dibalut dengan agama, makna ritual tersebut sangat terpelihara. Kuatnya tradisi ritual menyebabkan mereka beragama Islam non tradisi, misalkan kegiatan keagamaan yang biasa dilaksanakan pada umumnya yaitu tahlil dan dibarengi dengan pembacaa Yaasin sebelumnya. Di sini jelas bahwa makna ritual tahlil merupakan upacara adat orang Jawa untuk memperingati seseorang yang sedang meninggal, misalnya peringatan kematian 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dan sebagainya, untuk mendoakan pada orang yang telah meninggal.
Makna sosial dari acara tersebut adalah terselenggaranya silaturrahmi di lingkungan sekitar. Dari fenomena tahlil dapat menggambarkan masyarakat yang ingin mempertahankan nilai-nilai agamanya. Sedangkan salat akan tampak pada seseorang yang lebih memahami dan memiliki kepercayaan akan Tuhan.

3)      Dimensi Sosialisasi Agama

Dalam perspektif sosialisasi. Lingkungan dapat dijadikan faktor utama dan penentu dalam pengembangan agama. Sosialisasi ini yang diartikan sebagai usaha bagaimana seseorang berpartisipasi dalam lingkungan tempat tinggalnya yang memberikan pengaruh terhadap pengembangan pribadi dan individu seseorang. Lingkungan dapat memberikan pandangan secara agamis serta memberikan pengaruh terhadap seseorang dalam bersosialisasi dengan agamanya.

4)      Dimensi Pengalaman Keagamaan

Keagamaan merupakan refleksi dari visi pengetahuan, harapan dan arah keagamaan dari suatu masyarakat. Apa yang dibaca masyarakat merupakan apa yang berjalan dalam dinamika masyarakat. Lingkup yang ada di masyarakat adalah buku yang mampu menggerakkan intelektualitas, maka kita dapat memprediksikan bahwa masyarakat merupakan masyarakat akademis. Adapun jenis pengalaman keagamaan yang diungkap adalah kegiatan salat mereka, dengan pertimbangan bahwa sedikit banyak merupakan pengalaman keagamaan yang lain seperti puasa / zakat.

2.      Metode dan Materi Pembinaan Keberagamaan
Untuk membicarakan materi dari pembinaan agama Islam, perlu pemahaman mengenai agama Islam. Islam merupakan wahyu agama yang sebenarnya mengandung konsepsi integralistik dan universal. Kandungan / isi ajaran Islam secara vertikal dalam bentuk hubungan manusia dengan penciptanya, sedangkan secara horisontal mengatur hubungan manusia dengan sesama lingkungannya, dan secara spesial untuk kebahagiaan dunia dan akhirat, serta dalam kebutuhan jasmani dan rohani secara ringkas dapat dikatakan bahwa ajaran Islam mencakup pembinaan manusia seutuhnya dan seluruhnya yang berkualitas.
Materi pembinaan agama dapat ditekankan pada dasar keyakinan norma dan nilai-nilai islami, untuk itu perlu adanya aspek yang ditanamkan dan dimantapkan yaitu aqidah (keimanan), norma-norma ibadah (hubungan dengan khaliq), sosial keagamaan (hubungan dengan sesama) dan nilai akhlak (yang berkaitan dengan perilaku) serta pembinaan menuju ketaqwaan.
Penyampaian pembinaan agama dapt disampaikan dengan menggunakan metode yang tepat serta ditunjang dengan alat bantu yang relevan dan kegiatan yang menyentuh, sehingga dapat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dan pembinaan keberagamaan.



[1] Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1989), hlm. 93.
[2] Muh. Imin, Problematika Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: Kalam Mulia, 1989), hlm. 5.
[3]Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 225. 
Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.