INTERAKSI BELAJAR MENGAJAR DAN MOTIVASI BELAJAR PAI SISWA

23 Februari 2011

INTERAKSI BELAJAR MENGAJAR DAN MOTIVASI BELAJAR PAI SISWA


Sebagai makhluk sosial, manusia dalam kehidupannya membutuhkan hubungan dengan manusia lain. Hubungan itu terjadi karena manusia menghajatkan manusia lainnya, ketika sesuatu yang akan dilakukan tidak dapat dikerjakan seorang diri. Kebutuhan yang berbeda-beda dan karena saling membutuhkan membuat manusia cenderung untuk melayani kebutuhan manusia lainnya selain dari kepentingan pribadi.
Kecenderungan manusia untuk berhubungan melahirkan komunikasi dua arah melalui bahasa yang mengandung tindakan dan perbuatan. Karena ada aksi dan reaksi, maka interaksipun terjadi, karena itu interaksi akan berlangsung bila ada hubungan timbal-balik antara dua orang atau lebih.[1]
Interaksi yang berlangsung di sekitar kehidupan manusia dapat diubah menjadi “interaksi yang bernilai edukatif” yakni interaksi yang dengan sadar meletakkan tujuan untuk mengubah tingkah laku dan perbuatan seseorang. Interaksi yang bernilai pendidikan ini dalam dunia pendidikan disebut sebagai “interaksi edukatif atau biasa disebut dengan interaksi belajar mengajar”.[2]
Menurut Edi Suardi yang dikutip oleh Sardiman bahwa ciri-ciri interaksi belajar mengajar antara lain: adanya penetapan tujuan, adanya perencanaan desain pembelajaran, adanya penyampaian materi, adanya aktivitas anak didik, guru berperan sebagai pembimbing, dan adanya evaluasi atau penilaian.[3]
Proses belajar mengajar, pada dasarnya adalah suatu proses interaksi antara guru dan siswa, sedangkan sarana dan prasarananya merupakan faktor penunjang, untuk faktor lain dalam dibutuhkan faktor guru yang berkompeten dan berkepribadian, juga dibutuhkan faktor lain, yaitu faktor siswa itu sendiri yang meliputi kemampuan intelektual, yang bersifat kognitif dan non kognitif seperti emosi, motivasi, sikap, kepribadian, konsep diri, kemandirian belajar.[4] Untuk menunjang proses belajar tersebut dibutuhkan adanya dorongan atau motivasi baik dari guru maupun teman belajarnya di sekolah (siswa) lainnya, sehingga siswa mempunyai semangat dalam hal belajar.
Dalam rangka membina, membimbing dan memberikan motivasi ke arah yang di cita-citakan, maka hubungan guru dan siswa harus bersifat edukatif. Interaksi belajar mengajar ini adalah sebagai suatu proses hubungan timbal balik yang memiliki tujuan tertentu, yakni untuk mendewasakan anak didik agar nantinya dapat berdiri sendiri. Guru sebagai pembina dan pembimbing harus mau dan dapat menempatkan siswa sebagai anak didiknya di atas kepentingan yang lain.[5]
Kegiatan proses belajar mengajar tidak lain adalah menanamkan sejumlah norma komponen ke dalam jiwa anak didik. Semua norma yang diyakini mengandung kebaikan yang perlu ditanamkan ke dalam jiwa anak didik melalui peranan guru dalam pengajaran. Guru dan anak didik saling membutuhkan. Guru dengan membina dan membimbing anak didik dengan memberikan sejumlah ilmu kepada anak didik yang membutuhkan, dan sebaliknya anak didik ingin belajar dengan menimba sejumlah ilmu dari guru. Seperti termaktub dalam al-Qur’an QS. at-Taubah: 122 tentang kemulyaan menuntut ilmu pengetahuan, yakni :
... فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةُ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ (التوبة: 122).
“....Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama” (QS. At-Taubah: 122) [6]

Ayat tersebut mendorong individu maupun kelompok untuk pergi belajar menuntut ilmu dan memperdalam ilmu pengetahuan dalam rangka meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan. Salah satunya dapat belajar di lingkungan pondok pesantren. Sehingga minimal dari setiap golongan ada satu yang memahami ilmu agama sebagai penuntun dari yang lainnya.
Situasi belajar diseyogyakan dapat menciptakan hubungan interaktif guru-siswa sebagai stimulus-respon (S-R). menurut Thorndike sebagaimana di kutip oleh S. Nasution bahwa belajar adalah pembentukan atau penguatan hubungan antara S (stimulus) dan R (response, reaksi).[7] Motivasi belajar siswa ini ditandai oleh beberapa ciri yaitu: tekun menghadapi tugas, ulet menghadapi kesulitan, lebih senang bekerja mandiri, senang mencari dan memecahkan soal-soal.[8]
Antara S dan R terjadi suatu hubungan (bond) yang bertambah erat bila sering dilatih. Oleh sebab itu, teori ini juga disebut S-R bond theory. Apabila diberikan S, maka dengan sendirinya akan dibangkitkan R. Berkat latihan hubungan antara S dan R menjadi otomatis. Hubungan antara S dan R harus memberikan “satisfaction” atau kepuasan. Rasa kepuasan (misalnya guru mengatakan “benar”) merupakan reinforcement atau penguat.
Oleh karena itu, antara stimulus dan respon dalam kegiatan belajar mengajar merupakan dua kutub yang bersifat kausalitas, maka harus diciptakan secara sinkron. Dengan penciptaan suasana pembelajaran yang sinkron tersebut, diharapkan dapat menciptakan dan meningkatkan motivasi belajar siswa khususnya pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam.


[1] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), cet.1, hlm. 10.
[2] Moh Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), cet. 11, hlm. 11.
[3] Sardiman AM., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), cet. IX, hlm. 15-17.
[4] Muntholiah, Konsep Diri Positif Penunjang Prestasi PAI, (Semarang: Gunung Jati Press dan Yayasan al-Qalam, 2002), hlm. 11.
[5] Sardiman A.M., op. cit., hlm. 4.
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, 1971), hlm. 301.
[7] S. Nasution, Didaktik Asas-asas Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), cet. 11, hlm. 37.
[8] Sardiman A.M., op.cit., hlm. 81.
Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.