IJTIHAD DAN TAQLID

24 Desember 2008

IJTIHAD DAN TAQLID



I. PENDAHULUAN

Dimasa sekarang ini, Islam sedang di uji dengan dikatakan bahwa Islam adalah sarang teroris. Dengan peristiwa-peristiwa pengeboman sampai bom bunuh diri. Apakah ajaran Islam membuat seseorang menjadi tidak menghargai kebersamaan dan perdamaian. Kita sering mendengar kata ijtihad, yang sering disalah-artikan. Apakah itu yang dinamakan ijtihad yang sebenarnya, tanpa tahu asal mulanya dan berbuntut kebaikan atau kejelekan.

Al-Qur’an dan Sunnah Rasul telah mengatur sedemikian rupa seluruh keperluan dan kebutuhan pergaulan ummat. Dengan demikian harus bertafaqquh untuk meluaskan paham memperdalam pengertian tentang agama.

II. PEMBAHASAN

A. Ijtihad

بِذلُ الْجُهْدِ لِتَحْصِيْلِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ

Ijtihad adalah memberi segala daya kemampuan dalam usaha mengetahui sesuatu hukum syara’.

Dari segi teknik, ijtihad dibedakan menjadi tiga:

1. Ijtihad bayani yaitu ijtihad yang berhubungan dengan penjelasan kebahasaan yang terdapat di al-Qur’an dan Sunnah

2. Ijtihad qiyasi yaitu ijtihad untuk menyelesaikan suatu sengketa atau persoalan yang di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang tidak ada ketentuan hukumnya, dan ulama menyelesaikan dengan cara qiyas atau istihsan.

3. Ijtihad istishlahi yaitu ijtihad dengan menggunakan ra’y (akal) yang tidak menggunakan ayat-ayat al-Qur’an atau hadits tentang secara khusus.[1]

Ijtihad pada dasarnya adalah upaya yang sungguh-sungguh dalam memahami maksud-maksud Allah. Oleh karena itu ijtihad pasti menggunakan akal (ra’y).

Dengan pendekatan lafazh dan makna, Abd al-Majid Shubh membedakan ijtihad menjadi dua : ijtihad yang mengutamakan kata (susunan dan relasinya) yang utamanya disebut ash hab al lafazh; dan ijtihad yang mengutamakan “ideal moral” atau (مَاوَرَاءَ النَّصِّ) yang kemudian utamanya disebut ash hab al-ma’na.

Ijtihad adalah suatu usaha darurat di dalam sejarah perkembangan syariat, karena ijtihad jalan untuk mengistimbathkan hukum dari dalil, baik yang naqli maupun yang aqli.[2]

Orang yang mempunyai kelengkapan syarat ijtihad ditugaskan mengistinbathkan hukum atas dasar fardlu kifayah. Ada ulama yang berkata : kita perlu membayangkan hal-hal yang mungkin terjadi lalu kita bahas hukumnya, agar ketika terjadi hal-hal itu hukum telah ada. Inilah jalan yang ditempuh oleh fuqaha akhir ra’yi dan golongan Hanafiyah. Dan haram berijtihad pada masalah-masalah yang telah terjadi ijma’.[3]

Batas berlakunya hukum yang diperoleh dari ijtihad:

1. Hukum yang diperoleh dari ijtihad hanya harus dipakai oleh mujtahid sendiri dan oleh orang yang meminta fatwa kepadanya, tak dapat dimestikan seseorang mengikuti dan melaksanakannya.

2. Hukum yang diijtihadkan itu, tak dapat diyakini bahwa dia hukum syara’.

3. Hukum yang diperoleh dari ijtihad, merupakan hujah bagi seseorang yang meminta fatwa, tak perlu orang yang meminta fatwa itu mengetahui dalil, karena mujtahid itu merupakan dalil bagi hukum itu.

Dalam bidang yang telah ada nash yang qath’i tersebut dan dalalahnya naik dari Kitabullah maupun sunnah mutawatir, tidak dapat dilakukan ijtihad lagi, demikian pula dalam bidang yang sudah ada batasan-batasannya dalam syara’, seperti bilangan rakaat, waktu sembahyang dan amalan-amalan haji.

ð Ijtihad fardi adalah :

Setiap ijtihad yang dilakukan oleh orang seseorang atau beberapa orang, tak ada keterangan bahwa seluruh mujtahid yang belum menyetujuinya.

ð Ijtihad jama’i

Ijtihad terhadap sesuatu masalah yang disepakati oleh semua mujtahid.[4]

B. Taqlid

اَلْعَمَلُ بِقَوْلِ مِنْ لَيْسَ قَوْلُهُ إِحْدَى الْحُجَّجِ الشَّرْعِيَّةِ بِلاَ حُجَّةِ مِنْهَأ.

“Mengamalkan pendapat orang yang pendapatnya itu bukan suatu hujah syar’iyyah tanpa adahujja”.

Atau:

قَبُوْلُ قَوْلٍ بِلاَ حُجَّةٍ.

“Menerima suatu pendapat tanpa hujah”

Demikian pendapat al-Ghazali dan Ibn Jubki.[5]

a. Taqlid yang haram, yang disepakati oleh seluruh ulama ada 3 yaitu:

1) Tidak memperdulikan ayat Tuhan, lantaran orang tua (masyarakat)

2) Taqlid terhadap orang yang tidak kita ketahui, apakah orang itu mempunyai keahlian

3) Sesudah memperoleh hujah dan dalil yang bertentangan pendapat-pendapat orang tersebut. Segala bentuk taqlid ini, dicela Allah dalam al-Qur’an.

b. Taqlid yang wajib adalah: taqlid terhadap yang pendapat merupakan hujah seperti ucapan Rasulullah Saw dalam uruf ulama salaf, dinamai ittiba’.

c. Taqlid yang dibolehkan ialah menuruti pendapat para mujtahid dalam soal-soal yang tidak kita ketahui hukum Allah dan Rasul.[6]

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.

______________, Pengantar Ilmu Fiqih, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.

Mubarok, Jaih, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2002.



[1] Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), h. 8.

[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), h. 202.

[3] Ibid., h. 203

[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 163-164

[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, op.cit., h. 207-208.

[6] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, op.cit., h. 141-142.

Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.