24 Desember 2008

I K H L A S


A. Pendahuluan

Dalam pandangan Islam, ikhlas merupakan pengukuhan dari konsep keesaan Tuhan. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam ungkapan syahadah : “Bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah”.[1] Umar Ibnul Khattab pernah berdoa yang berbunyi :

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِى كُلَّهِ صَالِحًا وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصًا وَلاَ تَجْعَلْ ِلاَحَدٍ فِيْهِ شَيْئًا.

Artinya : Ya Allah! Jadikanlah amalku ini seluruhnya sholeh, dan jadikanlah ikhlas karena mencari ridla-Mu; dan jangan Engkau jadikan dia karena seseorang. Maka apakah yang disebut ikhlas itu?”.[2]

B. Pembahasan

Ikhlas menurut bahasa ialah tulus, murni. Sedangkan dalam arti istilah ialah ketulusan dalam mengabdi kepada Tuhan, dengan segenap hati, pikiran dan jiwa seseorang.[3] Dalam surat al-Baqarah ayat 139 yang berbunyi :

قُلْ أَتُحَآجُّونَنَا فيِ اللهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُخْلِصُونَ {139}

Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, dan bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati.

Para ahli tafsir menjelaskan :

1. Menurut Ibnu Katsir : dalam ayat ini Allah menuntun Nabi Muhammad Saw, untuk menolak perdebatan kaum musyrikin “Apakah kalian akan mendebatkan kami mengenai tauhid mengesakan Allah, dan berlaku patuh, taat serta ikhlas dalam mengikuti perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, padahal telah nyata Allah itulah yang kuasa, esa dan tidak bersekutu, sedang kami masing-masing tergantung kepada amalnya sendiri-sendiri, kami akan menanggung amal perbuatan kami dan kamu juga akan menanggung amal perbuatan kamu. Wanahnu lahu mukhlisuun : sedang kami telah tulus ikhlas beribadat, menuju dan mengabdikan diri hanya kepada Allah, sehingga semua amal perbuatan hanya satu tujuan ialah keridhaan Allah semata-mata.[4]

2. Menurut M. Quraish Shihab : Ayat diatas memperdebatkan dengan kami tentang Allah dan ajaran-Nya? Kalian berkata agama kalian lebih benar! Petunjuk Allah hanya untuk kalian! Surga milik kalian! Kalian tidak akan masuk neraka kecuali beberapa hari! Tuhan beranak dan lain-lain. Apakah ada hal-hal yang khusus buat kalian, sehingga kalian menduga bahwa Tuhan mengkhususkan buat kalian sesuatu yang tidak Dia anugerahkan kepada kami? Apakah benar seperti itu ajaran-Nya? Apakah dia membeda-bedakan, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu? Tidak! Bagi kami amalan-amalan kami bagi kamu amalan kamu, Dia yang memberi putusan yang tepat, serta sanksi dan ganjaran yang sesuai dengan amal masing-masing, itulah Tuhan yang kami sembah dan kepada-Nya kami mengikhlaskan hati.[5]

3. Menurut Hamka : katakanlah : apakah kamu hendak membantah kami perihal Allah? (pangkal ayat 139). Apakah kamu hendak membantah kami karena pada sangkamu bahwa Allah telah menentukan hanya bani Israil-lah kaum yang terpilih. Nabi-nabi dan Rasul-rasul hanyalah dari Bani Israil, kami Bani Israil adalah kekasih Allah dan anak-anak Allah. Dan kalau masuk neraka kami hanya berbilang hari saja. Pendeknya dalam tingkah dan caramu selama ini, kamu hendak memonopoli Allah hanya untuk kamu. Bagaimana kamu mendakwakan demikian wahai saudara-saudara kami ahlul kitab? Padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu? Kita sama-sama makhluk-Nya. Jika Nabi-nabi ada dalam kalangan Bani Israil, maka dalam kalangan Ismail pun apa salahnya ada Nabi? Apakah kamu sangka Tuhan tidak adil terhadap kedua keturunan Ibrahim? Apakah kamu sangka bahwa umat yang telah mempercayai Allah dan menyerah diri kepada-Nya bukanlah umat yang utama? Melainkan yang menjadi pengikut kamu saja yang utama? “Dan bagi kami adalah amalan kami dan bagi kamu adalah amalan kamu”. Mengapa kita harus bertengkar berbantah-bantah, marilah kita masing-masing pihak beramal, bekerja, berusaha. Bukankah agama yang benar adalah mementingkan amal? Kalau kita bertengkar dan berbantah, niscaya amal menjadi terlantar: “Dan kami terhadap-Nya adalah ikhlas”. (ujung ayat 139). Kami terhadap Allah ikhlas bersih tidak terganggu oleh niat yang lain, sebab kepercayaan kami tidak bercabang kepada yang lain.[6]

v Sifat dan ciri-cirinya

1. Orang yang benar-benar beriman.

Seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 146 yang berbunyi :

إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ وَأَصْلَحُواْ وَاعْتَصَمُواْ بِاللهِ وَأَخْلَصُواْ دِينَهُمْ ِللهِ فَأُوْلَـئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْراً عَظِيماً {146}

Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.

2. Orang taat ibadah

Seperti dalam surat al-Bayyinah ayat 5 yang berbunyi :

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ {5}

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.

Menurut Ibnu Ibad al-Nafazi, keikhlasan seseorang dapat bertingkat-tingkat, sesuai kedekatannya dengan Tuhan.

Tingkat pertama, adalah ikhlas yang ada pada kelompok al-Abror (orang-orang baik). Perbuatan mereka karena keikhlasannya, betul-betul terbebas dari sifat riya. Namun, tetap ada pamrih yang mereka harapkan dari perbuatan mereka, yaitu mengharap pahala dari Tuhan dan mengharap dijauhkan dari api neraka. Inilah ikhlas pada tingkat pertama yang menurut al-Nafazi, sejalan atau merupakan realisasi dari firman Allah Iyyaka Na’budu.

Tingkat kedua, adalah jenis ikhlas yang dimiliki oleh kelompok al-Muqarrabin (orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan). Sikap tulus kelompok ini, telah jauh melampaui ikhlas yang ada pada kelompok pertama tadi. Mereka benar-benar bekerja tanpa pamrih, tidak melihat perbuatannya karena daya dan upayanya sendiri, tapi semata-mata karena Tuhan. Menurut al-Nafazi, inilah ikhlas yang membuat pemiliknya benar-benar berada di jalan tauhid, dan inilah makna dan realisasi dari Firman Allah wa iyyakanasta’in.[7]

v Hukumnya : Dianjurkan (sunnah)

Seperti yang diterangkan dalam surat Shaad ayat 46-47, surat az-zumar ayat 11 dan 14, surat al-Mu’min ayat 14, dan surat al-Bayyinah ayat 5.

Akibat yang ditimbulkan

Positif : Dengan keikhlasan yang bersungguh-sungguh, hati akan terasa tentram dan pada akhirnya akan menerima balasan dari Allah.

Negatif : Apabila mereka berdusta atas keikhlasannya, hati terasa tidak tenang, tidak menguntungkan bagi dirinya dan orang lain karena perbuatan yang telah dilakukan dan Allah akan memberi balasan untuk yang demikian.

v Balasan (Janji Tuhan)

Allah menjanjikan balasan bagi mereka yang mengikhlaskan dengan sungguh-sungguh, seperti dalam surat ash-shaffat ayat 40-43

إِلاَّ عِبَادَ اللهِ الْمُخْلَصِينَ {40} أُوْلَئِكَ لَهُمْ رِزْقٌ مَّعْلُومٌ {41} فَوَاكِهُ وَهُم مُّكْرَمُونَ {42} فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ {43}

Tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa), Mereka itu memperoleh rezki yang tertentu, yaitu buah-buahan. Dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan di dalam surga-surga yang penuh nikmat.

Hamba-hamba Allah yang mukhlasin yakni yang dipilih oleh-Nya, tidak akan merasakan siksa sama sekali, mereka itu yang sangat tinggi kedudukannya, bagi mereka yakni akan memperoleh rizki yang tertentu, rizki itu antara lain seperti buah-buahan yang beraneka ragam dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan Allah di dalam surga-surga yang penuh kenikmatan.[8]

Surat as-Shaffat 127-128

فَكَذَّبُوهُ فَإِنَّهُمْ لَمُحْضَرُونَ {127} إِلاَّ عِبَادَ اللهِ الْمُخْلَصِينَ {128}

Maka mereka mendustakannya, karena itu mereka akan diseret (ke neraka), kecuali hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa).

Maka akhirnya mereka mendustakannya karena itu mereka pasti akan dihadirkan yakni di seret dengan paksa untuk menerima sanksi atas kedurhakaan mereka, kecuali hamba-hamba Allah yang terpilih atau dibersihkan dari dosa. Mereka itu tidak terkena siksa, tetapi akan memperoleh kemenangan dan dianugerahi aneka nikmat.[9]

v Jumlah kata ikhlas dalam al-Qur’an

Ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang ikhlas kurang lebih 30 ayat dan dalam 17 surat, dengan berbagai bentuk kata dari perubahan-perubahan kata-kata.[10]

C. Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ikhlas pada umumnya dilakukan oleh orang yang bersungguh-sungguh iman kepada Allah dan mempercayai kebesaran Allah. Dengan keikhlasan akan mendapat balasan dari Allah yang sesuai dengan apa yang telah diperbuat, seperti yang diterangkan dalam al-Qur’an, ikhlas itu hanya kita dan Allah yang tahu.

DAFTAR PUSTAKA

Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, terj. Ghufron A. Mas’adi, cet. I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, al-Ubudiyah (Hakekat Penghambaan Manusia Kepada Allah), terj. Mu’ammal Hamady, PT. Bina Ilmu, Surabaya.

Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Ibnu Katsir, terj. H. Said Bahreisy dan Salim Bahreisy, jilid I, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1982.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Volume I, Lentera Hati, Jakarta, 2000.

Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz I, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, 1970.

Drs. A. Ilyas Ismail, MA., Pintu-Pintu Kebaikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.

Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mafharis.



[1] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, terj. Ghufron A. Mas’adi, cet. I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 160

[2] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, al-Ubudiyah (Hakekat Penghambaan Manusia Kepada Allah), terj. Mu’ammal Hamady, PT. Bina Ilmu, Surabaya, hlm. 73

[3] Cyril Glasse, loc.cit.,

[4] Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Ibnu Katsir, terj. H. Said Bahreisy dan Salim Bahreisy, jilid I, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1982, hlm. 249

[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Volume I, Lentera Hati, Jakarta, 2000, hlm. 319-320

[6] Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz I, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, 1970, hlm. 251

[7] Drs. A. Ilyas Ismail, MA., Pintu-Pintu Kebaikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 1-2

[8] M. Quraish Shihab, op.cit., volume 12, hlm, 31

[9] Ibid., hlm. 76

[10] lebih jelas lihat Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mafharis, hlm. 238

Share:

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.